TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta terkait penyidikan dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pemeriksaan eks Kepala BPPN periode 2001-2002 itu sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis, 15 Juni 2017.
Baca juga: Kasus BLBI, KPK Akan Panggil Ulang Sjamsul Nursalim
Selain memeriksa I Putu Gede Ary Suta, KPK dijadwalkan memeriksa Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) 2002-2005 Lukita Dinarsyah Tuwo juga sebagai saksi untuk Syafruddin.
Pada Rabu, 14 Juni 2017, KPK juga memeriksa mantan Kepala BPPN periode 1998-2000 Glenn Muhammad Surya Yusuf. Menurut Febri, Glenn diperiksa untuk mendalami bagaimana proses kebijakan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) saat itu dan aspek penagihan kewajiban Rp 4,8 triliun.
Sebelumnya pada Selasa, 13 Juni 2017, KPK juga telah memeriksa Kepala BPPN 2000-2001 Edwin Gerungan. "Saksi Edwin Gerungan diperiksa untuk mendalami proses penerbitan MSAA pada saat itu dan juga kewajiban dari obligor sampai pada informasi-informasi terkait proses penerbitan SKL," kata Febri Diansyah.
KPK menetapkan mantan Kepala BPPN periode 2002-2004 Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004.
Simak pula: Pemerintah Bentuk Tim Khusus Percepatan Penagihan Dana BLBI
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajiban atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajiban. Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui KKSK dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.
ANTARA