TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menghapus beleid hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Wakil Tetap RI untuk Dewan HAM PBB di Jenewa, Hasan Kleib, mengatakan rekomendasi tersebut menjadi bagian dari 225 rekomendasi HAM melalui Universal Periodic Review Dewan HAM.
"Ada yang minta abolishment (penghapusan) hukuman mati di Indonesia, ada juga yang minta moratorium," kata Hasan di kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis 18 Mei 2017.
Baca: Jokowi Pertimbangkan Moratorium Hukuman Mati, Ini Kata Yasonna
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dan Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menjadi ketua delegasi dalam Pembahasan Laporan HAM Indonesia untuk kelompok kerja UPR. Hasan menjelaskan Indonesia menerima 150 rekomendasi dan 75 rekomendasi masih akan dikonsultasikan.
Menurut Hasan, rekomendasi penghapusan hukuman mati sulit dilaksanakan di Indonesia. "Karena (hukuman mati) masih menjadi hukum positif Indonesia," kata Hasan.
Simak: 93 Negara Akan Cecar Indonesia Soal HAM, Terutama Hukuman Mati
Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menambahkan ketentuan pasal hukuman mati mengalami perubahan pada rencana revisi KUHP yang sedang digodok di DPR. "Hukuman mati sudah dikeluarkan dari ancaman hukuman pokok. Sekarang sudah menjadi alternatif yang penerapannya harus hati-hati," ujar Mualimin.
Ia pun mempertanyakan bagaimana dengan terpidana mati yang proses hukumnya sudah selesai ketika perubahan beleid diberlakukan. Bahkan, ketika proses hukum telah sampai memasuki tahapan grasi. "Pintu masuknya adalah presiden melalui amnesti, tapi harus lewat DPR," ujarnya.
Lihat: Pembunuhan Satu Keluarga di Medan dan Ancaman Hukuman Mati
Mualimin mengatakan pihaknya masih akan meninjau kembali pemberlakukan beleid baru soal hukuman mati dalam KUHP tersebut. Termasuk dengan keberadaan 67 terpidana mati yang siap dieksekusi. "Nanti kita lihat, kalau 67 yang akan dieksekusi mau mengambil amnesti, itu harus melalui DPR," kata dia.
ARKHELAUS W.