TEMPO.CO, Jakarta - Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI mulai berkembang di Indonesia sejak 1980-an. Awalnya Hizbut Tahrir diperkenalkan di Indonesia oleh Ustad Abdurrahman al-Bagdzadi, warga Australia. Sang Ustad awalnya menjadi kader Hizbut Tahrir di Libanon. Peran perkembangan Hizbut Tahrir di Indonesia waktu itu juga oleh mahasiswa Indonesia yang kembali dari Timur Tengah.
Tujuan pendirian HTI, menurut bekas juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto kepada Tempo 2002 silam menjelaskan organisasinya mengajak umat Islam kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Impiannya adalah sebuah masyarakat yang diatur dengan syariat Islam dan dipimpin oleh seorang khalifah.
Baca juga:
Pemerintah Bubarkan HTI, Wiranto: Aktivitasnya Mengancam NKRI
Tahap awal perkembangan Hizbut Tahrir Indonesia melakukan dua langkah untuk membangun fondasi. Pertama kampanye menegakkan syariat Islam. Kampanye itu dilakukan melalui pemasangan poster, spanduk dan pertemuan-pertemuan.
"Apa yang kami lakukan baru tahap awal," ujar Ismail. Toh, hasilnya sudah lumayan. Organisasi ini mampu menerobos barikade tabu politis dalam membicarakan syariat Islam di Indonesia.
Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah pengembangan gagasan Hizbut Tahrir. Caranya melalui pemberian informasi cara mengelola sebuah negara berdasarkan syariat Islam. Antara lain tata cara pemilihan pemimpin (khalifah), hukum, dan sistem perekonomian yang Islami.
Baca pula:
BREAKING NEWS, Wiranto: Pemerintah Akan Bubarkan HTI
Kampus yang banyak menjadi tempat berkembangnya Hizbut Tahrir antara lain Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan perguruan tinggi lainnya.
Kelompok yang lahir pada tahun 1953 di Yerusalem itu tercatat pernah mengadakan acara yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Pada 12 Agustus 2007 Hizbut Tahrir berhasil menggelar Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Acara itu mengusung tema "Saatnya Khilafah Memimpin Dunia".
Muhammad Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia waktu itu mengatakan organisasinya menolak demokrasi tapi setuju terhadap pluralisme. Sebab, kata dia, demokrasi berprinsip kedaulatan di tangan rakyat. "Kami percaya kedaulatan milik Allah," katanya.
Ismail mengakui organisasinya merupakan sebuah partai politik. "Tapi, untuk dikatakan partai yang ikut pemilu belum, mungkin suatu saat nanti, tidak dalam waktu dekat," ujarnya.
Acara itu dihadiri sejumlah tokoh Islam, di antaranya Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, dai kondang Abdullah Gymnastiar, Kiai Tohlon Abdul Rauf dari Majelis Ulama Indonesia Sumatera Selatan, Tuan Guru Turmudzi dari Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat, serta ribuan aktivis Hizbut Tahrir.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah memasukan Hizbut Tahrir termasuk dari delapan organisasi masyarakat yang anggotanya dipengaruhi paham Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS). Organisasi tersebut adalah Jamaah Ansharut Tauhid, Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Bima Group, NII Banten, Laskar Jundullah, Tauhid Wal Jihad, dan Al-Muhajirun. Kelompok Al-Muhajirun ini, merupakan fraksi radikal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Mereka jaringan radikal lama yang terpecah-pecah pasca-operasi bom Bali," kata Penasihat Kepala Polri, Tito Karnavian, saat itu. "Al-Muhajirun itu fraksi radikal dari HTI," kata mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, As'ad Ali 21 Maret 2015.
Evan/PDAT Sumber Diolah Tempo