TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana khawatir hak angket yang digulirkan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan upaya untuk melemahkan KPK.
"Mungkin menjadi modus operandi baru," ujar Denny dalam diskusi di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta Selatan, Selasa, 2 Mei 2017.
Baca: Mantan Pimpinan KPK: DPR Gagal Paham Subtansi Hak Angket
Menurut Denny, upaya pelemahan KPK terjadi melalui revisi Undang-Undang KPK yang dinilai mempreteli kekuatan lembaga tersebut, kemudian kriminalisasi pimpinan KPK, hingga serangan fisik kepada penyidik KPK Novel Baswedan pada pertengahan April lalu.
Denny menilai sejak semula hak angket KPK sudah bermasalah. Selain itu, kata dia, secara aturan dapat dipermasalahkan. Sebab, dalam sudut pandang historis dan hukum, hak angket sebenarnya lahir pada sistem parlemen sehingga harusnya digulirkan kepada pemerintah dalam atau lembaga eksekutif.
Pengguliran hak angket kepada lembaga independen, seperti KPK, menurut Denny, keliru. "Ini pertama kalinya hak angket digunakan untuk lembaga noneksekutif," ucapnya.
Menurut Denny, pengawasan terhadap lembaga independen seperti KPK tidaklah sama seperti DPR mengawasi pemerintah. Seperti lembaga penegakan hukum lainnya, Denny menambahkan, KPK tidak bisa dikontrol ataupun dicampuri oleh lembaga negara lain, termasuk DPR.
Baca: Bambang Widjojanto Tunjukkan Kasus-kasus Layak Hak Angket DPR
Sebelumnya, Komisi Hukum DPR RI mengusulkan Hak angket DPR untuk KPK agar lembaga tersebut mau membuka rekaman pemeriksaan politikus Hanura, Miryam S. Haryani, dalam perkara korupsi e-KTP. Pasalnya, Miryam mengaku ditekan enam orang anggota hukum agar menyampaikan keterangan palsu.
Saat sidang paripurna pekan lalu, hak angket itu sudah ditandatangani oleh 26 orang anggota dari sembilan fraksi. Fahri Hamzah membantah keputusan itu diambil secara sepihak. Dia mengklaim pengajuan hak angket kepada KPK telah memenuhi kuota pengusul sebanyak 25 anggota Dewan.
CAESAR AKBAR | RW