TEMPO.CO, Jakarta - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mempersoalkan kepergian 13 anggota Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Terorisme ke Inggris dan Irlandia untuk melakukan studi banding.
Menurut peneliti Formappi, Lucius Karus, studi banding itu janggal karena baru dilakukan ketika pembahasan sudah mencapai lebih dari 50 persen. "Idealnya, jika terkait dengan materi RUU, studi harus dilakukan pada fase awal penyusunan RUU," kata dia, Senin, 24 April 2017. Para anggota Dewan itu berangkat pada Ahad lalu dan akan kembali ke Indonesia pada Sabtu pekan ini.
Baca juga:
Pansus RUU Terorisme Siapkan Studi Banding ke Luar Negeri
Menurut Lucius, studi banding yang dilakukan di tahap akhir pembahasan justru tidak efektif karena tak akan banyak berpengaruh. Walhasil, studi banding itu akan hanya terkesan jalan-jalan dengan memanfaatkan duit negara. Menurut dia, sejumlah studi banding lain yang dilakukan DPR juga tidak menghasilkan masukan yang cukup berarti. "Selama ini tak pernah memperlihatkan buktinya," kata Lucius.
Ketua Pansus Revisi UU Terorisme Muhammad Syafii membantah jika perjalanan tersebut bakal sia-sia dan hanya jalan-jalan belaka. "Kalau tahu kebutuhan undang-undang, enggak akan ngomong begitu," kata dia. Menurut Syafii, studi banding itu bertujuan menggali informasi sekaligus membandingkan sistem penanganan terorisme Indonesia dengan sistem di dua negara tujuan. "Kami butuh belajar untuk melihat model yang bagus," katanya.
Inggris dan Irlandia dianggap berhasil menerapkan sistem penanganan terorisme satu atap. Hal itu rencananya diadopsi di Indonesia melalui revisi UU Terorisme. “Di antaranya soal penguatan, pengawasan BNPT, hingga operasional dan keuangannya,” kata Syafii. Pansus juga akan belajar mengenai badan penanganan korban terorisme.
NINIS CHAIRUNNISA