TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional untuk Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Masyukurdin Hafidz memperkirakan hanya ada 7 permohonan yang bakal disidang di Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pilkada 2017. Sebab, syarat ambang batas selisih suara dinilai bakal menggugurkan permohonan.
"Kalau ada ketentuan ambang batas oleh MK, kemungkinan hanya ada 7 daerah," kata Masyukurdin di D'Hotel, Jakarta, Ahad, 5 Maret 2017.
Baca: MK Diminta Tinjau Ulang Ambang Batas Selisih Suara Pilkada
Menurut dia, MK tidak perlu memperhatikan perhitungan kalkulasi ambang batas sebagai syarat untuk memproses sengketa. MK, kata dia, harus juga mempertimbangkan beberapa faktor terkait aspek keadilan pilkada seperti politik uang, pencalonan, logistik pilkada, hingga dugaan intimidasi.
Masyukurdin pun mengatakan pihaknya menemukan 46 daerah yang mengajukan gugatan. Sebanyak 12 daerah terkategori pelanggaran tertinggi, sebanyak 19 daerah terkategori pelanggaran sedang, dan sebanyak 15 daerah terkategori pelanggaran rendah.
Baca: Cegah Surat Suara Kurang, Bawaslu: KPUD Perketat Pengawasan
Menurut dia, MK perlu memperhatikan seluruh proses pilkada yang berlangsung, serta dalil dan bukti yang diajukan pemohon, ketimbang berpegang pada hasil selisih penghitungan suara. "Tidak hanya rekapitulasi, tapi proses harus memperhatikan semua pandangan," kata dia.
Mekanisme penanganan perkara sengketa hasil Pilkada 2017 kini menjadi sorotan terkait penerapan ambang batas sengketa pilkada. Dalam situs milik Mahkamah Konstitusi, tercatat sebanyak 49 permohonan pengajuan penyelesaian sengketa pilkada yang masuk di MK. Rinciannya, 45 permohonan sengketa pemilihan bupati/walikota, dan 4 sengketa pemilihan gubernur.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, sependapat. Menurut dia, MK harus memperhitungkan keseluruhan proses tahapan pilkada dan memberi kesempatan pemohon memberikan bukti-bukti gugatannya. "Pola MK yang seperti ini, menarik kembali fungsi MK sebagai mahkamah kalkulator," kata Feri.
ARKHELAUS W.