TEMPO.CO, Mojokerto - Komisi VII Bidang Lingkungan Hidup Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengaudit lingkungan PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Audit ini merupakan rekomendasi rapat Komisi Lingkungan dengan Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum; Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan; Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian LHK; serta Direktur Utama PT PRIA di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis, 8 Desember 2016.
“Audit lingkungan melibatkan pihak ketiga yang independen,” kata Anggota Komisi Lingkungan DPR Mat Nasir saat dihubungi, Jumat, 9 Desember 2016. Audit akan menilai sejauh mana dampak aktivitas usaha perusahaan pengolah limbah itu terhadap lingkungan. Jika audit menemukan unsur yang merugikan warga, maka warga yang terpapar limbah B3 harus diberi kompensasi sesuai dengan aturan.
PT PRIA juga wajib memulihkan fungsi lingkungan yang terpapar limbah B3 yang dikelola perusahaan dengan diawasi Dirjen Penegakan Hukum dan Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian LHK. “PT PRIA harus memulihkan fungsi lingkungan dengan mengambil tanah timbunan di lahan masyarakat yang terpapar limbah B3.”
Selain mendaur ulang limbah B3 di areal pabrik, PT PRIA ternyata juga menjual limbah B3 berupa limbah batu bara yang digunakan untuk material pengurukan lahan pemukiman atau rumah warga. “Jelas itu melanggar, limbah yang seharusnya diolah pabrik, malah dijual ke masyarakat,” Mat Nasir.
Selain merekomendasikan audit lingkungan dan pemulihan fungsi lingkungan, DPR juga meminta direktorat jenderal terkait memantau dan mengawasi pengelolaan limbah B3 oleh PT PRIA secara berkelanjutan dan melaporkannya ke Komisi VII. DPR juga meminta Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 memberikan data tentang jenis dan volume limbah B3 yang dihasilkan seluruh perusahaan di Indonesia.
PT PRIA diduga menimbun ribuan ton limbah B3 saat meratakan lahan untuk pabrik sejak 2010. Timbunan limbah yang merembes itu diduga mencemari air tanah dan sumur warga. Indikasinya, warga mengalami iritasi kulit dan gatal-gatal setelah kontak dengan air sumur.
Direktur Utama PT PRIA Tulus Widodo membantah ada penimbunan limbah B3 di areal pabrik. “Semua limbah kami olah jadi barang yang bermanfaat seperti batako, batu bata merah, dan kertas. Tidak ada penimbunan,” kata dia.
Warga dan aktivis lingkungan menyambut baik rekomendasi DPR atas dugaan pelanggaran pengelolan limbah B3 oleh PT PRIA. “Kami akan mengawal agar Kementerian dan DPR konsisten dan transparan dalam proses audit dan pemulihan lingkungan,” kata Manajer Program dan Penelitian Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton) Daru Setyorini.
Menurut dia, PT PRIA melakukan banyak pelanggaran. Mulai dari pengolahan limbah B3 sebelum mengantongi izin, penimbunan limbah yang mencemari air tanah, memberi kesempatan warga memungut benda atau barang mengandung limbah B3 di dalam pabrik, dan menjual limbah batu bara ke warga yang digunakan untuk menguruk lahan rumah. Semula, warga tidak tahu itu limbah B3. “Setelah tahu, warga tak berani lagi memungut dan membeli limbah B3.”
ISHOMUDDIN