TEMPO.CO, Mataram - Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menaikkan batas minimal usia pernikahan di Undang-undang Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perkawinan. Ia pun mendukung upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait peraturan itu. Menurutnya, revisi UU Perkawinan itu penting untuk menghentikan praktek perkawinan anak yang sampai sekarang masih dilakukan di beberapa tempat di NTB.
"Semua bupati dan walikota di NTB punya komitmen yang sama terkait pendewasaan usia perkawinan," kata Zainul Majdi, kepada Tempo, di sela peringatan Hari Anak Nasional di Mataram, Ahad 24 Juli 2016.
Sayangnya sampai sekarang, sejumlah upaya perubahan belum membawa hasil. "Pemerintah NTB hanya bisa memberi advokasi kepada masyarakat terkait pernikahan dini," katanya.
Menurut Majdi, meski angka buta huruf mengalami tren penurunan di NTB, tren perkawinan dini masih sulit dihilangkan karena itu berkaitan dengan pola pikir masyarakat. Salah satu faktor yang berpengaruh mendorong tren pernikahan anak, kata Majdi, adalah adat sehingga pemerintah pun melakukan pendekatan kultural.
Di sektor hukum, saat ini, ujar Majdi, pihaknya mendorong adanya sinkronisasi Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Perkawinan untuk menyamakan batas usianya. "Instrumen negara adalah undang-undang, kalau orang mau menikah berdasarkan syarat umum, kami tidak bisa mencegah," ujar Majdi.
Pada Forum Anak Nasional 2016 yang diadakan di Hotel Lombok Raya, Mataram, Jumat malam, 22 Juli 2016, ratusan anak membacakan 12 rekomendasi berlaber Suara Anak Indonesia di hadapan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yambise, yang mewakili Presiden Joko Widodo.
Dari 12 tuntutan tersebut, ada permintaan seputar perkawinan anak, seperti: "Lindungi kami dari pernikahan dini" dan "Lindungi kami dari segala bentuk kejahatan seksual".
Direktur Gagas Foundation, Azhar Zaini, menilai dua suara ini penting, khususnya bagi anak-anak di NTB. Menurut Azhar, perkawinan anak di sana berkaitan dengan tingginya angka putus sekolah. "Banyak yang tidak bisa mengikuti ujian karena mereka harus menikah," kata Azhar. Akibatnya, kata dia, ada peningkatan angka buta huruf di NTB. Sekitar 10 persen dari usia anak-anak masih buta huruf. "Yang masih belum banyak angka partisipasi sekolahnya," kata dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2015, jumlah usia anak-anak di NTB mencapai 1,8 juta anak. Pada 2012, presentase buta huruf mencapai 16,32 persen dan usia rata-rata kawin pada usia 19,88 tahun.
Azhar menjelaskan hal ini diperparah kondisinya dengan Budaya Merarik. Budaya merarik, ujar Azhar menjelaskan, seorang anak perempuan bisa dibawa lari oleh seorang laki-laki untuk dinikahi secara adat. Namun, ketika seorang perempuan kembali, orang tua tak mau menerima kembali karena dianggap aib. "Secara adat itu disahkan, dan itu juga yang mendorong pernikahan di usia anak," kata dia.
Ia pun mendesak kepada pemerintah daerah untuk aktif melakukan sosialisasi deteksi dini anak yang rentan putus sekolah. Persoalan pernikahan dini, menurut dia, bakal diperparah lagi dengan adanya destinasi pariwisata yang terus dikembangkan oleh pemerintah daerah yang berpotensi menjadikan anak sebagai pekerja. "Sehingga angka partisipasi untuk sekolah rendah," ujar aktivis Lembaga Perlindungan Anak ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise menganggap 12 tuntutan adalah pekerjaan rumah untuk kementeriannya. Terkait poin perkawinan dini, Yohana berpesan kepada anak-anak, "Kalian harus mengutamakan sekolah, jangan terlebih dulu memikirkan perkawinan. Negara mempersiapkan agar kalian melanjutkan bangsa dan negara," kata Yohana.
ARKHELAUS W.