TEMPO.CO, Jakarta - Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri mengungkapkan, salah satu penyebab suburnya paham terorisme di Indonesia adalah hilangnya budaya gotong-royong. Kebiasaan baik ini mulai ditinggalkan, ditandai oleh renggangnya hubungan persaudaraan antartetangga.
"Banyak teroris yang tidak diketahui tetangganya. Ternyata orang yang tinggal di dekat rumahnya adalah pelaku teror," tutur pejabat bagian operasional Mabes Polri, Ajun Komisaris Besar Antony Sindu, saat diskusi di gedung Dewan Pers, Rabu, 24 Februari 2016.
Menurut Antony, budaya gotong-royong sudah terkikis. Efeknya, masyarakat lebih mengedepankan sifat individualistis dan tidak mengenal lingkungannya. Padahal sikap ini menjadi salah satu penyebab suburnya paham terorisme di Indonesia.
Antony menambahkan, sudah saatnya menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Semua elemen masyarakat harus mengambil peran. Dari memberi pemahaman yang baik kepada saudara dan tetangga hingga kontrol sosial.
"Di Arab Saudi, negara bahkan mengontrol dan menyeleksi imam yang akan memimpin salat," katanya. Salah satu kontrol pemerintah Arab Saudi adalah menyeleksi imam masjid yang berceramah agama.
Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Hanafi Rais mengatakan saat ini Dewan dan pemerintah sedang menggodok draf revisi Undang-Undang Terorisme. Rencananya, pemerintah akan lebih mengutamakan pencegahan. Meski begitu, Hanafi menyarankan, jangan sampai pencegahan ini menjadikan terorisme tumbuh subur. Artinya, jangan sampai undang-undang tersebut ternyata membuat kepolisian makin represif.
Di media sosial, terorisme bisa tumbuh subur dengan propaganda yang mudah diterima masyarakat. Karena itu, perlu adanya upaya kolektif untuk mengawasi terorisme di media sosial. Di antaranya dengan melakukan propaganda antiterorisme.
"Di Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, telah dibentuk lembaga counter narrative cyber crime," tuturnya. Lembaga tersebut mengawasi ideologi terorisme yang masuk ke negaranya. Sebab, dalam banyak kasus, salah satu target teroris adalah perekrutan anak muda.
Menurut Hanafi, banyak pemuda terlibat dalam serangan terorisme di Indonesia. Bahkan propaganda radikalisme telah menyebar hingga media sosial, seperti Facebook, YouTube, Twitter, dan sejumlah media lain, yang umumnya disukai kalangan remaja.
AVIT HIDAYAT