TEMPO.CO, Jakarta - Saksi persidangan kasus suap dan pencucian uang Mindo Rosalina Manulang mengatakan PT Permai Grup, perusahaan milik terdakwa M. Nazaruddin, sebenarnya fiktif. Gedung kantor hanya digunakan sebagai tempat berkumpulnya para pengusaha. Rosa, mantan anak buah M. Nazaruddin di PT Permai Grup, juga mengatakan ada banyak anggota DPR RI yang mendapatkan imbalan dari bekas bosnya.
Rosa, panggilan akrab Mindo, menyebutkan tiga komisi yang anggotanya menerima imbalan. "Komisi V, VIII, dan X," katanya seusai bersaksi untuk terdakwa Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu, 16 Desember 2015. Rosa enggan membocorkan nama-nama para wakil rakyat tersebut.
Rosa hanya menyebutkan satu nama anggota DPR yang menerima imbalan, yaitu Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Marwan menerima imbalan ketika ia duduk di Komisi Infrastruktur (V) DPR. "Marwan terima fee. Bukan lewat saya, melainkan lewat kepala badan," katanya. Marwan belum bisa dimintai konfirmasi.
Menurut Rosa, penerima dana imbalan mendapatkan sekitar lima persen dari keuntungan proyek. "Kadang ada yang nambah dua persen," katanya. Jika sudah begitu, tugas Rosa ialah melaporkannya kepada Nazaruddin.
Rosa merupakan pegawai marketing di perusahaan Nazaruddin. Nazaruddin mengenalkan Rosa kepada rekannya di Badan Anggaran DPR, salah satunya Angelina Sondakh. Tujuannya agar Rosa bisa mengurus anggaran dan menyiapkan dana dukungan sehingga proyek yang diajukan Nazaruddin disetujui Badan Anggaran.
Nazaruddin didakwa melakukan suap dan pencucian uang atas perbuatannya membantu dua perusahaan dalam mendapatkan proyek pemerintah. Perusahaan tersebut adalah PT Nindya Karya dan PT Duta Graha Indah. Ia menerima hadiah dari PT Nindya Karya berupa uang tunai sekitar Rp 17 miliar dan dari PT Duta Graha Indah berupa 19 lembar cek yang seluruhnya bernilai sekitar Rp 23 miliar. Uang tersebut kemudian digunakan Nazaruddin untuk kepentingan diri sendiri dan memperkaya orang lain. Uangnya dialihkan ke berbagai rekening, dibelikan barang-barang, dan dialihkan bentuknya.
Atas perbuatannya, ia diancam pidana sesuai Pasal 12 huruf b atau subsider Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Nazaruddin juga diancam pidana dalam Pasal 3 atau subsider Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Terakhir, ia dijerat Pasal 3 ayat 1 huruf a, c, dan e Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
VINDRY FLORENTIN