TEMPO.CO, Jakarta - Tim Audit Hak Asasi Manusia Papua yang dibentuk Komisi Nasional HAM akan mengaudit situasi HAM sejak Papua diintegrasikan ke Indonesia pada tahun 1969 hingga saat ini.
Menurut Ketua Tim Audit HAM Papua Natalius Pigai, saat proses integrasi, warga Papua yang menolak bergabung dengan Indonesia melakukan pemberontakan. Dalam menumpas pemberontakan itu, banyak warga Papua anti-integrasi yang tewas.
Saat itu, kata Natalius, pemerintah Indonesia membuat dua kebijakan untuk Papua. Pertama, kebijakan pembangunan; dan kedua, pembangunan pertahanan. "Lalu, selama Orde Baru, yang dikedepankan adalah pendekatan militer untuk Papua," kata Natalius kepada Tempo, Rabu, 18 November 2015.
(Baca: Komnas Bentuk Tim Audit HAM Papua)
Selanjutnya, kata Natalius, Tim Audit HAM Papua akan meneliti kasus-kasus yang diduga kuat terjadi pelanggaran HAM. Antara lain, tewasnya sekitar 13 ribu warga Papua pada tahun 1977.
Dalam laporan yang dipublikasikan Komisi HAM Asia atau AHRC bertajuk “The Neglected Geno-cide: Human rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977–1978” dijelaskan bahwa telah terjadi operasi militer lewat udara di sekitar lembah Baliem untuk memberangus gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjelang pemilu pada 1977.
Operasi militer yang menggunakan pesawat tempur, menurut AHRC yang berkantor di Hong Kong, telah menewaskan ribuan orang, termasuk bayi, anak-anak, dan perempuan.
Kasus lainnya yang akan diaudit oleh tim tersebut adalah eksodus sekitar 15 ribu warga Papua ke Papua Nugini pada kurun waktu 1982-1984 karena ketakutan terhadap aparat militer. Selain itu, tokoh budaya Papua yang banyak menggali budaya Melanesia lewat lagu-lagunya dicurigai dan dibunuh.
Pembunuhan terhadap warga Papua berlanjut pada kisaran tahun 1986-1987. Ilmuwan Papua alumni sebuah universitas di Jepang, Dr Tom Wangai, ditangkap dan meninggal secara tak wajar di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, pada tahun 1987.
Tahun 1984, terjadi pengeboman di Enarotali, Kabupaten Paniai, yang menewaskan puluhan warga Papua. Operasi militer tahun 1996 ini menewaskan puluhan warga di tiga desa suku Amungme.
Situasi ini memicu pembentukan Presidium Dewan Papua yang dipimpin Theys Hiyo Eluay, yang kemudian tewas dibunuh setelah menghadiri undangan makan malam Komandan Kopassus di Jayapura pada 2001. Posisi Theys kemudian digantikan Tom Beanal.
Kasus lainnya yang akan diaudit, kata Natalius, adalah peristiwa Biak Berdarah. Peristiwa Biak berdarah terjadi dua bulan setelah rezim Orde Baru tumbang. Aparat TNI dan polisi menembaki sekitar seribu warga Papua yang tengah melakukan aksi damai dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Tower Air, Biak.
Laporan Elsham Papua menyebutkan ada 230 orang menjadi korban. Rinciannya, 8 orang meninggal, 3 orang hilang, 4 korban luka berat dievakuasi ke Makassar, 33 orang ditahan sewenang-wenang, 150 orang mengalami penyiksaan, dan 32 mayat misterius ditemukan.
Menurut Natalius, aksi demo di Biak dipimpin Filep Karma. Hari ini, 19 November 2015, Filep Karma bebas setelah 11 tahun dipenjara di LP Abepura, Papua.
Setelah tahun 2000 dan pemberlakuan otonomi khusus, rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi di Papua. Misalnya, peristiwa Abepura, Wamena, Wasior, Paniai, Tolikara, dan Timika. "Setiap hari ada yang meninggal di Papua karena militeristik aparat," ujar Natalius.
Seorang pemimpin organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Markus Haluk, mengatakan hak asasi orang Papua untuk menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa dan negara telah dilanggar pemerintah Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sejumlah pihak terkait.
"Pemerintah Indonesia, UN (United Nations atau PBB), dan berbagai pihak melalui perundingan tidak pernah melibatkan orang Papua sebagai subyek yang dipersengketakan," tutur Markus kepada Tempo pada Sabtu, 14 November 2015, di Jakarta.
Hak menentukan nasib dan masa depan warga Papua harus diperoleh dan diperjuangkan sampai saat ini. ULMWP, ujar dia, menjadi organisasi resmi yang mempersatukan semua organisasi di Papua untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri.
MARIA RITA