TEMPO.CO, Manado - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengatakan korban asap akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan dapat meminta ganti rugi atau restitusi seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Namun LPSK baru bisa membantu korban memperjuangkan hak ganti rugi jika sudah ada kepastian dari penegak hukum soal status pidana dalam peristiwa kebakaran tersebut. "Bergantung pada aparat penegak hukum, apakah bisa tegas menyebut itu pidana atau tidak," kata Semendawai di Manado, Kamis, 29 Oktober 2015.
Dia mengatakan, berdasarkan informasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, saat ini penegak hukum telah menetapkan lebih dari 200 nama perusahaan dan individu sebagai tersangka. Namun belum ada kepastian dan informasi terbuka dari semua aparat penegak hukum soal nama tersangka dan wilayah yang menjadi tempat kejadian perkara. "Kalau belum ada penetapan pidana, sulit menempuh langkah restitusi," ujar Semendawai.
Menurut dia, LPSK memang tak bisa melindungi hak semua saksi dan korban karena hanya terbatas pada kasus pidana umum, korupsi, perdagangan manusia, narkoba, dan kejahatan hak asasi manusia. Dalam pidana umum, penuntutan restitusi kepada tersangka tak hanya atas kejahatan yang dilakukan secara sengaja, tapi juga tindak pidana tak disengaja. "Jadi tak ada alasan bagi tersangka tak memberikan ganti rugi kepada korban," tuturnya.
Markas Besar Kepolisian mengklaim telah menetapkan 105 tersangka, 56 perorangan dan 49 perusahaan, kebakaran lahan dan hutan yang ditangani Kepolisian Daerah Jambi, Polda Riau, Polda Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Secara total, para tersangka diduga telah membakar sekitar 50.183 hektare.
Baca Juga:
FRANSISCO ROSARIANS