TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Mediasi dan Advokasi Deputi Bidang Perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Teguh Hendro Cahyono, mengatakan pihaknya selalu menindaklanjuti masalah buruh migran yang ditemukan di lapangan.
Ihwal penghapusan kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN), Teguh mengatakan tidak bisa dilakukan karena dilarang undang-undang. "Maksud presiden bukan menghapus kartunya, tapi pungutan liar di belakangnya yang harus diatasi," kata Teguh dalam diskusi Evaluasi 100 Hari Jokowi untuk Buruh Migran di Jakarta, Rabu, 28 Januari 2015. (Baca: Malaysia Memuji Indonesia Pulangkan TKI Ilegal )
Teguh berdalih sedang merancang solusi agar tidak ada pungutan liar di balik pembuatan KTKLN sekaligus membuat KTKLN berfungsi pula sebagai kartu ATM dan alat pengajuan klaim asuransi. Kelak, kata dia, KTKLN tidak hanya berguna untuk pendataan. "Sedang kami susun dengan perbankan dalam minggu ini. Mereka tentu perlu melihat apakah ada keuntungan dengan kerja sama ini atau tidak." (Baca: Dirazia Petugas Malaysia, Uang TKI Raib)
Selain itu, kata Teguh, penindakan terhadap pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PTKIS) nakal terus dilakukan. "Ini serius kami dalami," kata Teguh. "Kami bekukan PTKIS yang bermasalah." (Baca: Khofifah Sambut Ratusan TKI Ilegal di Juanda)
Terminal khusus TKI di Bandara Soekarno-Hatta, kata Teguh, pun telah diganti dengan lounge khusus TKI. Di sana, TKI yang baru pulang bisa langsung mendaftarkan keluhan dan masalahnya sembari menunggu alat transportasi untuk pulang kampung. "Sedang kami integrasikan agar sistem (pengaduan) online dan bisa langsung ditindaklanjuti."
Teguh membantah bila blusukan yang dilakukan pimpinannya selama ini disebut tidak membuahkan hasil. "Ini butuh proses, tak bisa seperti makan cabai yang langsung pedas."
INDRI MAULIDAR
Terpopuler
Selalu Bilang Next, Ceu Popong Tegur Menteri Anies
Pengacara Budi Gunawan Kini Incar Penyidik KPK
KPK Rontok, Giliran Yusuf PPATK 'Diteror' DPR
EKSKLUSIF: Wawancara Ratna, Saksi Bambang KPK (I)
'Jokowi, Dengarkan Kesaksian Ratna Mutiara'