TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Edwin Partogi Pasaribu menganggap aborsi di tindak pidana pemerkosaan merupakan hak yang dimiliki korban. (Baca: Menteri Amir Setuju Aborsi Bagi Korban Perkosaan)
Namun, kata dia, penerapannya harus dilakukan secara cermat. "Aborsi diberikan terhadap korban pemerkosaan sepanjang aborsi tidak membahayakan jiwa korban," ujar Edwin melalui surat elektronik, Selasa, 19 Agustus 2014.
Menurut Edwin, keselamatan korban harus menjadi proritas utama. Dokter yang diberi wewenang untuk melakukan aborsi juga harus jelas. Menghindari penyalahgunaan peraturan, Edwin menilai perlu ada pembuktian hukum yang kuat bagi pihak-pihak yang akan melakukan aborsi.
“Peran aparat penegak hukum sangat menentukan proses ini," tutur Edwin. Selain itu, dia juga meminta korban yang akan aborsi mempertimbangkan ajaran agama. Jika beragama Islam, korban disarankan mengikuti arahan dari MUI terkait dengan aborsi. (Baca: Aktivis Waspadai Penyalahgunaan PP Aborsi)
Namun, menurut Edwin, keputusan melakukan aborsi ada di tangan korban sendiri. Bila korban tidak mengkehendakinya, aborsi tak boleh dilakukan. Sebaliknya, jika korban perkosaan menghendaki, tindakan ini bisa diambil.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan tersebut melegalkan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasi memiliki kedaruratan medis dan/atau akibat pemerkosaan.
SUNDARI
Berita Terpopuler:
Cara Kristiani Tangkal ISIS di Media Sosial
Amerika Diguncang Kerusuhan Berbau Rasis
Para Koruptor Pesta Remisi
Jokowi Emoh Hidup di Menara Gading