TEMPO.CO, Jakarta - Berkas dakwaan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menyebut nama sejumlah kepala daerah yang aktif menawar tarif Akil dan mengirim uang untuk penanganan sengketa pemilihan kepala daerah di MK. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan meski hal itu merupakan suap untuk pemenangan pasangan kepala dan wakil kepala daerah, tetap diperlukan bukti untuk menghukum keduanya.
"Logika umum memang melihat kalau calon kepala daerah berbuat, masak wakilnya tidak tahu? Tapi logika hukum tetap perlu dua alat bukti untuk bisa dilakukan penyidikan," kata Saldi kepada Tempo, Ahad, 2 Maret 2014.
Dalam berkas dakwaan Akil disebutkan, misalnya, nama Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang dan Wali Kota Palembang Romi Herton yang mengontak Akil atau perwakilan Akil untuk mengurus suap. Komisi Pemberantasan Korupsi juga sudah menetapkan Bupati Gunung Mas terpilih, Hambit Bintih, sebagai tersangka pemberi suap untuk Akil. Namun wakil Hambit, Arton S. Dohong, baru dimintai keterangan sebagai saksi.
"Tugas KPK adalah menelusuri pihak-pihak yang menurut logika umum terlibat dalam suap pilkada ini, kemudian membuktikan logika itu dengan menemukan bukti-bukti," kata Sadli.
Surat dakwaan Akil menyebutkan lelaki kelahiran Putussibau, Kalimantan Barat, ini mendapat suap dalam menangani sepuluh sengketa pemilihan kepala daerah di MK. Besaran suap bervariasi antara Rp 500 juta hingga Rp 20 miliar. Sumber dana suap dan janji juga beragam, mulai dari calon kepala daerah, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, hingga tim pemenangan pasangan kepala daerah.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE
Berita Terpopuler
Jokowi Capres, Demokrat Setia dengan Konvensi
Benarkah PDIP Sudah Susun Kabinet Bayangan?
Jokowi Kuatkan Elektabilitas Megawati
PDIP Sudah Dilobi Militer
Astrolog: Oktober 2014, Mega Rayakan Kemenangan