TEMPO Interaktif, Jakarta - Putusan kasasi atas kasus Prita Mulyasari menuai kecaman dari sejumlah kalangan. Mereka menilai putusan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan berpotensi membungkam hak masyarakat dalam berekspresi dan menyatakan pendapat. “Putusan yang mengecewakan,” ujar Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdhal Kasim, Sabtu 9 Juli 2011.
Putusan MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri Tangerang terhadap Prita atas tuduhan pencemaran nama baik lantaran telah menyebarkan keluhan layanan Rumah Sakit Omni melalui surat elektronik. Dengan putusan tersebut, Prita terancam kembali mendekam dalam bui selama 6 bulan.
Menurut Ifdhal, putusan tersebut hanya mengedepankan norma hukum positif dan tidak meletakkan persoalan pada prinsip pemenuhan hak yang lebih substansial. Padahal, kata dia, yang dilakukan Prita merupakan reaksi atas kegagalan pihak rumah sakit dalam memenuhi layanan konsumen.
“Ada dimensi kepentingan umum yang lalai dijadikan pertimbangan. Mestinya MA bisa menggali berbagai norma hukum terkait masalah tersebut,” ujarnya. Jika tetap dipertahankan, Ifdhal khawatir putusan itu akan memberangus hak masyarakat dalam menyatakan pendapat. “Karena ini akan jadi rujukan bagi kasus yang lain,” katanya.
Hal serupa dinyatakan anggota Koalisi Pembela Kebebasan Berpendapat dan Berkespresi, Margiono. Menurut dia, hakim kasasi mestinya tidak semata menerapkan aturan hukum positif sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. “Karena secara sosiologis UU itu sebenarnya masih bermasalah,” katanya.
Menurut Margiono, seorang hakim agung mestinya bisa keluar dari teks hukum karena pada sisi lain ia bertugas mencari norma hukum lain yang sejalan dengan prinsip rasa keadilan masyarakat. “Fungsi hakim tidak hanya menerapkan aturan hukum yang sudah ada, melainkan juga dapat membuat penemuan hukum,” ujarnya.
Untuk merespons putusan tersebut, kata Margiono, koalisi akan menggalang dukungan dan mendesak kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan revisi UU ITE. “Sejauh belum dicabut, Pasal 27 UU ITE (pasal pencemaran nama) itu akan tetap menjadi ancaman bagi siapa pun,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO