Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Aliansi Jurnalis Independen mengimbau jurnalis agar selalu memperhatikan kode etik jurnalistik dalam pemberitaan mengenai perempuan. Seruan ini menyusul cukup banyaknya pemberitaan media yang dinilai kurang mematuhi kode etik.
"Terkadang media begitu verbal menyampaikan berita kekerasan seksual. Seperti tidak ada empatinya," kata Komisioner Komnas Perempuan, Neng Dara Affiah, di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (24/11).
Ia mencontohkan soal penggunaan kata 'pekerja seks' dan juga 'perempuan seksi' di media. Menurutnya, dua kata tersebut menciptakan stigma negatif kepada pembaca.
"Media itu pedang. Harus memajukan juga gambaran yang seimbang dan tidak boleh ada unsur diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, marjinalisasi dan diskriminasi," tutur Dara.
Dari kumpulan berita yang dihimpun Komnas, ada sebanyak 151 isu kekerasan seksual yang diberitakan media massa. Angka itu merupakan data dari bulan Januari hingga November 2010.
Rach Alida Bahaweres dari Aliansi Jurnalis Independen menambahkan, pasal 4 kode etik jurnalistik mengingatkan bahwa wartawan tidak boleh membuat berita yang bersifat cabul. "Dari pantauan AJI sampai sekarang masih banyak media yang memakai kata-kata cabul yang semata-mata membangkitkan nafsu birahi saja," jelasnya.
Ia juga mengambil pasal 5 dan 8 di kode etik jurnalistik. Pasal 5 menyebutkan bahwa wartawan tidak menyebutkan dan menyiarkan identias korban kejahatan susila dan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
RIRIN AGUSTIA
Iklan
