TEMPO Interaktif, Jakarta - Lebih dari setengah dari 23 buoy, pelampung pendeteksi gelombang tsunami yang ditanam di tengah laut Indonesia, rusak. Padahal peralatan canggih itu sangat berguna untuk memberikan sinyal terjadinya tsunami. Biaya pemasangan tiap unit buoy juga menelan biaya yang tidak sedikit, yakni Rp 5 miliar.
"Salah satu kendala yang kami hadapi yakni pengrusakan (vandalisme). Ada unsur manusia yang merusak buoy. Ini tidak dikarang-karang, demikian yang terjadi," kata Ridwan Djamaluddin, Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT) bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam dalam gelar pers, Jum'at (29/10).
Sejak 2006, kata Ridwan, BPPT telah memasang sebanyak 23 buoy. BPPT bertanggung jawab penuh terhadap perawatan setiap buoy yang telah dipasang. Bouy-buoy ada yang buatan Indonesia (10 buah), sumbangan Jerman dan Amerika Serikat, hasil kerjasama dengan Malaysia, dan kerjasama dengan Australia.
Secara teknologi, buoy sudah terbukti dapat mendeteksi anomali gelombang hingga setengah cm di tengah laut, sehingga sangat efektif memberitahukan adanya tsunami. "Sekarang buoy yang masih berfungsi baik hanya ada 4. Dua buoy buatan Indonesia, terletak di Simeleu dan Halmahera. Dua lainnya buatan Jerman," ujarnya.
Djoko Hartoyo, Project Manager Buoy BPPT mengatakan, buoy tidak hanya terpasank di Indonesia saja, tapi juga di wilayah lain dan salingg terhubung. Di Mentawai, buoy rusak karena kapal-kapal nelayan berusaha mengangkat. Bahkan, ada buoy yang tali penambatnya putus. BPPT menduga tali penambat sengaja dipotong, karena tali penambat terbuat dari baja dengan kekuatan 5 ton. "Kami sudah membuat buey yang handal dan tidak mudak rusak, bahkan tersembunyi di dalam air. Tapi toh nyatanya tetap dirusak. Untung semua buoy dilengkapi antena komunikasi dan dipasang GPS (Global Positioning System), sehingga bisa dilacak keberadaannya," ujarnya.
Saat ini, lanjutnya, BPPT tengah mengkaji penggunaan teknologi kabel bawah laut sebagai pengganti buoy, seperti yang telah diterapkan oleh Jepang. Meski harganya 5-6 kali lebih mahal daripada menggunakan buoy dan efektifitasnya sama, tapi kabel bawah laut tidak mudah dirusak. Perusahaan NEC asal Jepang telah menawari kerja sama dengan BPPT, dan saat ini tengah didalami.
MAHARDIKA SATRIA HADI