"Selama enam bulan berturut-turut ke depan ada tim yang bekerja bersama yang akan menindaklanjuti bersama, apakah aset tersebut harus dikembalikan dengan payung dari kebijakan itu dan dalam 6 bulan kedepan akan disipakan kerangka kerjanya," ujar Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan, Haryono Umar, di KPK, Rabu siang (3/12).
Supervisi dan Koordinasi dalam penertiban Aset ini dilakukan terhadap Departemen Keuangan, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, dan Kementrian BUMN.
Dirjen Kekayaan Negara (DJKN) Departemen Keuangan menyatakan, setelah ada supervisi koordinasi penertiban aset dengan KPK, jumlah aset yang bisa diselamatkan Depkeu meningkat. "Dari 13.960 satuan kerja yang bisa diselamatkan sebanyak 9.879 satuan kerja," ujar Dirjen Kekayaan Negara, Depkeu Hadiyanto di KPK.
Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, menyatakan aset negara yang terdaftar di BPN akan disertifikasi dan dilegalisasi. Senada dengan DJKN, jumlah aset terdaftar yang bisa diselamatkan BPN juga meningkat. "Tahun kemarin ada 880 ribu aset negara yang terdaftar bisa ditertibkan, sekarang ada 2,4 juta," ujar Joyo Winoto.
Sedangkan J.Lubis, Direktur Pembinaan Bangunan dan Lingkungan (PBL) Departemen Pekerjaan Umum, menyatakan penertiban aset perumahan negara yang jumlahnya ribuan akan diikuti dengan penghapusan pungutan liar yang tidak diatur dalam ketentuan. Ia menegaskan terutama dalam pengalihannya.
"Kita berupaya membuat produk yang jelas, kita sudah buat soal manajemen mutu, dan inventarisasi rumah negara," ujar J. Lubis.
KPK dan lima lembaga itu sendiri belum menegaskan, peraturan konkrit apa yang akan diterapkan. Sampai saat ini KPK dan lima lembaga masih membahas, apakah langsung diambil langkah pengusiran atau langkah win win solution.
"Sebab sudah ada peraturan pemerintah nomor 6 Tahun 2006 terhadap pihak yang menguasai aset negara bisa dilakukan pengusiran, namun pengusiran pun ada prosedurnya, seperti diatas Rp 1 Miliar perlu ada mekanisme dari DPR atau diatas Rp 10 Miliar perlu ada mekanisme dari Presiden," ujar Haryono.
Cheta Nilawaty