TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Sohibul Iman, mengatakan partainya menyadari ada ancaman paham komunisme di Indonesia. Karena itu, ia menyambut baik rencana Tentara Nasional Indonesia yang menginstruksikan prajuritnya untuk menggelar nonton bareng film Pengkhianatan G 30 S PKI. "(Ancaman komunis) Terasa," katanya selepas acara Aksi Bela Rohingya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu, 16 September 2017.
Selain itu, menurut Sohibul, pemutaran film ini penting agar anak muda Indonesia mengetahui sejarah bangsanya. "Saya kira TNI yang memprakarsai sangat bagus," kata dia.
Baca: Film Pengkhianatan G 30 S PKI, Dicerca dan Dipuji
Menurut Sohibul, dengan diputarnya kembali film Pengkhianatan G 30 S PKI masyarakat Indonesia akan tahu tentang bagaimana sejarah Partai Komunis Indonesia. Meski film tersebut kontroversial dan ada kekurangan, hal ini bisa diperbaiki dengan sambil memberikan penjelasan ke masyarakat. "Tapi fakta dan sejarah PKI harus diberi tahu," ujarnya.
Sohibul berujar bagi masyarakat yang tidak setuju silakan saja protes asalkan tidak anarkistis. Ia menilai dengan mengeluarkan instruksi nonton bareng tersebut, pihak TNI sudah sadar bahwa akan ada pihak yang tidak menyetujuinya. "Serahkan ke TNI, TNI yang melaksanakan tentu tahu caranya (meredam protes)," tuturnya.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigadir Jenderal Wuryanto, mengatakan selain masalah sejarah tujuan film ini diputar lantaran ia menduga ada upaya oleh sekelompok orang untuk mencabut TAP MPRS No XXV/1996, dan mendorong pemerintah minta maaf kepada PKI.
Simak pula: Ditemukan, Versi Lain Film G 30 S PKI
Film Pengkhianatan G 30 S PKI bercerita tentang pemberontakan anggota PKI yang, menurut sejarah versi pemerintah, terjadi pada 30 September 1965. Di era Orde Baru, film ini wajib diputar dan ditonton di televisi tiap 30 September.
Film Penghianatan G 30 S PKI ini kontroversial dan disebut sebagai upaya pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal kepemimpinan Soeharto. Setelah Orde Baru runtuh, banyak pihak buka suara mempertanyakan keabsahan narasi sejarah yang dibangun pemerintah dalam menggambarkan peristiwa 30 September 1965 itu.
AHMAD FAIZ