TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu karya Arifin C. Noer yang paling kontroversial. Film yang dibuat pada 1984 ini menjadi sinema yang wajib diputar dan ditonton di televisi tiap 30 September, sepanjang pemerintahan Orde Baru.
Tak hanya televisi yang wajib menayangkannya, seluruh sekolah pun mengharuskan murid-muridnya menonton untuk kemudian membuat resensi film itu sebagai tugas sekolah. Pada 1998, peraturan yang mewajibkan pemutaran film ini kemudian dihapus, seiring munculnya kontroversi keabsahan sejarah Gerakan 30 September yang melibatkan bekas Presiden Soeharto.
Film ini disebut-sebut sebagai upaya pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal melalui media. Peristiwa pembunuhan para jenderal dan petinggi Angkatan Darat secara sadis dan tidak berperikemanusiaan terekam dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu juga menggambarkan detail bagaimana para jenderal disiksa, disayat-sayat, dan alat kelaminnya dipotong.
Runtuhnya pemerintahan rezim Soeharto membuat banyak pihak mempertanyakan kebenaran sejarah, termasuk yang digambarkan dalam film ini. Lantaran dianggap sebagai propaganda Orde Baru, Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan pada 1998, kemudian melarang pemutarannya.
Kebenaran adegan penyiletan dan penyiksaan lainnya terhadap para jenderal dibantah almarhum Hendro Subroto, wartawan perang. Dia adalah saksi mata sejarah tersebut. Kala menjadi wartawan TVRI, Hendro mengabadikan pengangkatan jenazah enam jenderal dan seorang kapten pahlawan revolusi dari Lubang Buaya. Tepatnya pada 4 Oktober 1965.
Puluhan tahun diam, pada Maret 2001, Hendro berani mengatakan apa yang dia lihat. Dia mengungkapkan beberapa detail yang menyimpang dari apa yang kemudian dipublikasikan dalam sekian buku sejarah dan film-film versi Orde Baru. "Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat," katanya saat diwawancara Tempo pada Maret 2001. Artikel wawancara ini dimuat dalam majalah Tempo edisi 11 Maret 2001.
"Saya sendiri belum melihat film Pengkhianatan G30S/PKI," kata Hendro. Dan almarhum adalah satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah para jenderal itu dari Lubang Buaya. "Saya merasa aneh bahwa tidak ada orang yang membawakan peran saya sebagai satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah itu dengan kamera film."
Lantaran berada di lokasi, almarhum Hendro berani mengatakan ketujuh jenazah itu tidak mengalami pembengkakan. "Seperti yang saya katakan tadi: jika orang sehat dianiaya, disundut rokok, atau disayat senjata tajam, tubuh di bagian itu akan membengkak, sebagai reaksi dari sistem kekebalan tubuh manusia," katanya.
Toh, sebagai sebuah karya seni, film Pengkhianatan G30S/PKI menuai banyak pujian, meskipun kebenaran ceritanya dipertanyakan.
Pada 1984, Arifin C. Noer meraih penghargaan Piala Citra untuk skenario terbaik di film ini. Di perhelatan yang sama, Arifin juga masuk unggulan untuk kategori penyutradaraan terbaik film ini. Sedangkan Amoroso Katamsi, yang berperan sebagai Soeharto muda, menjadi kandidat pemeran utama pria terbaik.
Yang juga kecipratan adalah Embie C. Noer yang diunggulkan dalam kategori tata musik terbaik, Hasan Basri untuk kategori tata kamera terbaik, dan Farraz Effendy yang masuk nominasi kategori tata artistik terbaik. Meski akhirnya, hanya Arifin yang pulang menggondol Piala Citra sebagai penulis skenario terbaik.
Pada 1985, masih di Festival Film Indonesia, Pengkhianatan G30S/PKI mendapat penghargaan Piala Antemas untuk kategori film unggulan terlaris 1984-1985.
Sutradara Hanung Bramantyo mengakui keunggulan film ini sebagai karya seni. "Terlepas dari film propaganda, secara sinematik film Pengkhianatan G30S/PKI rapi, detail, dan nyata," kata Hanung kepada Tempo, Kamis, 27 September 2012. "Saya sempat mengira itu bukan film, tapi real."
NIEKE INDRIETTA
Berita Terkait:
Film Pengkhianatan PKI, Propaganda Berhasilkah?
Refleksi Korban PKI
Sastra Lekra Belum Mati
Menteri Pertahanan Belum Lihat Facebook Dukung PKI
Peristiwa 1965 Dirancang CIA