TEMPO.CO, Jakarta -- Direktur Komite Nasional untuk Reformasi Televisi (Remotivi) Muhammad Heychael mengatakan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga soal iklan rokok di televisi.
"Kita tertinggal dari Laos dan Kamboja soal regulasi iklan rokok. Di negara tersebut melarang iklan rokok di dunia penyiaran seperti di televisi dan radio," kata Heychael di Jakarta, Selasa 2 Agustus 2017.
Bahkan di negara lain, kata dia, iklan di dunia maya juga dilarang. Padahal pembatasan iklan rokok penting untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak.
BACA: Akademisi: Pemerintah Indonesia Tak Tegas Atur Iklan Rokok
Menurut dia, banyak hal dalam aturan penyiaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) yang dilanggar atau diakali guna memuluskan iklan rokok di dunia penyiaran.
Dia mencontohkan ada pelanggaran iklan rokok yang tayang di luar waktu yang diperbolehkan, yaitu lepas dari pukul 21.30. Akan tetapi, iklan rokok seperti menyamar dalam iklan ataupun program lain. Misalnya lewat acara beasiswa perusahaan rokok yang ditayangkan.
Hingga saat ini iklan rokok juga menjadi penyumbang pemasukan televisi terbesar meski telah dibatasi. Terdapat 424 spot iklan rokok di televisi atau total durasi 22.018 detik setiap harinys. "Djarum sebagai penyumbang pertama, kedua Sampoerna, ketiga Pepsodent," kata dia.
BACA: Peserta Forum Anak Nasional Mengkritisi Iklan Rokok di Media
Penegak regulasi di dunia televisi dan radio seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), kata dia, juga belum begitu kuat dalam menindak iklan rokok termasuk yang berbalut beasiswa dan semacamnya.
Padahal, lanjut dia, iklan rokok di televisi juga disaksikan anak-anak. Dengan paparan iklan rokok maka hak anak untuk hidup dan tumbuh sehat terancam.
Secara langsung atau tidak masa depan anak Indonesia sangat terancam oleh iklan rokok. "Maka perlu ada penindakan dan pengkajian ulang terhadap regulasi penyiaran sehingga iklan rokok tidak tayang secara sembarangan," katanya.
ANTARA