TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto membantah menerima duit Rp 574 miliar dari korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Ia pun meminta perlakuan zalim terhadapnya dihentikan.
"Saya kaget dengan putusan (sebagai) tersangka," kata Setya dalam jumpa pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Juli 2017.
Baca: Tunggu Surat Penetapan, Setya Novanto: Saya Menghargai Sikap KPK
Menurut dia, tuduhan menerima uang Rp 574 miliar tersebut sudah terbantahkan dalam persidangan. Ia juga menjelaskan mantan Bendahara Umum Partai Golkar, Muhammad Nazaruddin, dalam persidangan pada 3 April 2017, telah membantah Setya menerima uang. Begitu pula saat sidang Andi Agustinus alias Andi Narogong pada 29 Mei 2017.
"Saya percaya Allah Maha Tahu dan tahu apa yang saya lakukan, dan insya Allah apa yang dituduhkan tidak benar," ujarnya.
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi e-KTP pada Senin malam, 17 Juli 2017. Saat pengumuman penetapan tersangka Setya Novanto, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan Setya melalui Andi Agustinus alias Andi Narogong diduga berperan dalam proses perencanaan, penganggaran, hingga pengadaan dengan mengkondisikan peserta dan pemenang tender proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut. "Kami telah memiliki dua alat bukti," kata Agus.
Baca juga: Setya Novanto Tersangka, Miryam S. Haryani: No Comment
KPK menjerat Setya Novanto dengan Pasal 3 dan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kedua pasal tersebut berisi tindak pidana seseorang yang secara melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan telah memperkaya diri, orang lain, atau korporasi, sehingga menyebabkan kerugian negara. Setya juga dijerat dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Tindak Pidana Secara Bersama-sama.
AHMAD FAIZ