TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Pusat Muhammadiyah memberi tujuh masukan pada Rancangan Undang-Undang atau RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR dan pemerintah. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti berharap masukan ini bisa diterima untuk penyempurnaan undang-undang tersebut.
Pertama adalah soal sistem pemilihan dalam RUU Pemilu. "Sistem pemilu yang kami pandang lebih demokratis dan berkeadaban adalah sistem proporsional tertutup atau sistem proporsional terbuka terbatas," kata Mu'ti dalam jumpa pers di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat, 9 Juni 2017.
Baca juga: Rapat RUU Pemilu Alot, 5 Isu Krusial Akan Diputuskan Secara Paket
Usulan ini dilakukan untuk mengurangi maraknya politik uang sebagaimana terjadi pada sistem proporsional terbuka. Selain itu, kata Mu'ti, sistem proporsional terbuka membuat pemilihan menjadi kanibal karena persaingan justru terjadi pada calon dalam satu partai. Seharusnya persaingan terjadi pada calon partai dengan partai lain.
Kedua, Muhammadiyah menilai penambahan kursi DPR belum relevan. Artinya jumlah kursi sepatutnya tetap 560. Pemekaran daerah bukan berarti menambah jumlah kursi untuk daerah tersebut, tapi yang seharusnya dilakukan adalah realokasi kursi DPR. Sehingga, tidak ada lagi provinsi yang mengalami kekurangan kursi atau kelebihan kursi.
Ketiga, Muhammadiyah mengusulkan angka ambang batas (parliementary threshold) nol persen. Penerapan ambang batas yang tinggi dianggap tidak serta merta menyederhanakan partai politik. Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Effendy mengatakan ambang batas tinggi akan meniadakan suara rakyat. "Makanya yang diperlukan adalah pengaturan ambang batas pembentukan fraksi di DPR," kata Bahtiar. Ini juga untuk efisiensi pengambilan keputusan di DPR.
Keempat, penerapan ambang batas pencalonan presiden diusulkan nol persen. Adanya pemilu serentak pada 2019 membuat penerapan ambang batas presiden menjadi tidak relevan.
Kelima, usulan dana saksi pemilu yang dibiayai APBN dianggap akan merusak tatanan penyelenggaraan pemilu dan membebani anggaran negara. "Pemberian dana saksi pada parpol tidak serta merta mengurangi kecurangan pemilu," kata Mu'ti. Upaya mengurangi kecurangan dapat ditempuh dengan memperkuat fungsi pengawasan pemilu.
Keenam, Muhammadiyah menilai sudah saatnya KPU kabupaten/kota dijadikan lembaga permanen. Jika lembaga tersebut masih bersifat ad hoc, maka KPU kabupaten/kota tidak leluasa dalam menyelenggarakan pilkada. Misalnya tidak boleh mengelola keuangan sendiri. Padahal lembaga tersebut adalah ujung tombak penyelenggaraan pemilu di daerah.
Ketujuh, Muhammadiyah berharap UU Pemilu yang dibuat tidak bersifat sekali pakai. "Masa UU yang dirumuskan sedemikian rupa digunakan hanya lima tahun sekali," kata Bahtiar. Dia menilai revisi lima tahunan UU tersebut lebih menunjukkan kepentingan sektoral partai politik, ketimbang kepentingan bersama.
AMIRULLAH SUHADA