TEMPO.CO, Jakarta - Usul untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Revisi UU KPK, bukan hanya kali ini diutarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berkali-kali anggota Dewan menjadikan rencana revisi itu sebagai senjata untuk menyerang KPK. Bahkan, meski revisi Undang-Undang KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas, semangat anggota DPR tak padam.
Baca juga:
Hak Angket DPR Bakal Berujung Revisi UU KPK?
2015
Revisi UU KPK diusulkan masuk Prolegnas 2015 oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi. Munculnya ide ini dicurigai sebagai barter seleksi calon pemimpin KPK yang sempat mandek di DPR. Belakangan, Dewan batal membahas revisi UU KPK.
2016
Revisi UU KPK diusulkan masuk dalam Prolegnas 2016. Hal ini muncul saat pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (kini sudah disetujui). Pengajuan revisi UU KPK disebut dimaksudkan sebagai tukar guling dengan RUU Pengampunan Pajak. Belakangan, pemerintah dan pimpinan DPR (saat itu Ketua DPR Ade Komaruddin) bertemu. Hasilnya, RUU harus dibahas bersama-sama dan disosialisasi.
Baca pula:
Revisi UU KPK, Busyro: Berkali-kali DPR Coba Mutilasi KPK
2017
-Badan Legislasi dan Badan Keahlian DPR gencar melakukan sosialisasi ke kampus-kampus untuk mengusung gagasan Revisi UU KPK. Ditolak oleh sejumlah pegiat antikorupsi dan kampus, sosialisasi itu mengendur.
-Kasus dugaan korupsi e-KTP mulai disidangkan. Ketua DPR Setya Novanto disebut-sebut terlibat dalam kasus ini, meskipun Setya kerap kali membantahnya. Usul Revisi UU KPK kembali muncul setelah kasus ini masuk ke persidangan.
HUSSEIN ABRI DONGORAN
Simak:
Revisi UU KPK, Fahri Hamzah: Sikap Saya Ikut Presiden Jokowi
Revisi UU KPK, Sejumlah Indikasi Pelemahan KPK