TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi PDI Perjuangan, Charles Honoris, menilai pelibatan TNI dalam memberantas terorisme adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi, yaitu penanganan terorisme melalui penegakan hukum yang merupakan ranah kepolisian.
Charles dalam diskusi bertajuk Dinamika Gerakan Terorisme dan Polemik Revisi UU Anti-Terorisme di Universitas Paramadina, menyatakan reformasi melahirkan banyak institusi baru termasuk pemberantasan terorisme dengan model penegakan hukum. "Sehingga kalau melenceng maka kita mengkhianati amanat reformasi," kata Charles di Jakarta, Rabu, 31 Mei 2017. (Baca: Revisi UU Antiterorisme, DPR: Definisi Teroris Jadi Perdebatan)
Charles mengatakan tidak anti-TNI. Namun, menurut dia, dalam melaksanakan tugas, tiap institusi harus didudukkan dalam tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) serta proporsinya yang ideal. Dia berpendapat, tugas TNI untuk pertahanan negara sedangkan penegakan hukum merupakan wilayah Kepolisian dan Densus 88 Antiteror.
"Agak lucu kalau TNI dijadikan penyidik dan lakukan penangkapan karena akan menjadi kecacatan hukum," tutur Charles.
Selain itu, Charles menilai banyak pihak yang menyalahartikan pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu terkait dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Menurut dia, keinginan Presiden adalah pelibatan TNI secara terbatas, yakni mengacu pada Pasal 7 UU TNI, yaitu terlibat dalam pemberantasan terorisme atas dasar keputusan politik negara. (Baca: Wiranto Ingin TNI Turun Langsung Berantas Terorisme, Bukan BKO)
"Presiden sebagai panglima tertinggi TNI pasti memahami tupoksi institusi tersebut," ucap Charles. Karena itu, Charles berujar, pernyataan Presiden Jokowi tersebut banyak disalahartikan. "Karena sebenarnya pelibatan TNI namun secara terbatas seperti sekarang."
Direktur Imparsial Al Araf dalam diskusi tersebut mengatakan faktor utama dalam terorisme adalah ideologi. Bukan semata karena ketidakadilan ekonomi seperti banyak analisis yang dikemukakan beberapa pihak. (Baca: TNI Terlibat Pemberantasan Terorisme, Pengamat: Tidak Perlu Khawatir Masa Lalu)
Menurut dia, pada era Orde Lama dan Orde Baru, teror dijadikan ideologi perlawanan sehingga tidak bisa diantisipasi dengan pendekatan represif.
"Saya menilai basis persoalannya adalah ideologis dari terorisme ini, ya memang ketidakadilan ekonomi namun rutenya adalah ideologi yang dianut masyarakat," tutur Al Araf.
Dia menilai revisi UU Terorisme harus memastikan bahwa upaya pencegahan dengan instrumen pemerintah tidak cukup menggunakan penegak hukum sebagai aktor. Karena itu, menurut dia, perlu keterlibatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama untuk memotong ideologi teror tersebut. (Baca: Imparsial: Keterlibatan TNI Tak Perlu Masuk Revisi UU Terorisme)
ANTARA