TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan majelis hakim kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah sampai pada keputusan. Vonis Ahok dijatuhkan dengan dua tahun penjara, mulai hari ini, Selasa, 9 Mei 2017.
Sebelum vonis disampaikan, kuasa hukum Ahok, Wayan Sudirta nengatakan hakim jangan sampai tunduk sama tekanan massa dalam memutuskan peradilan. "Jangan sampai di republik ini seorang dipenjarakan karena tekanan massa," ujar Wayan di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa 9 Mei 2017.
Baca juga:
Ahok Ditahan di Cipinang, Ini Kejanggalan Vonis Penistaan Agama
Menurut Wayan bahwa tekanan massa harus dinetralisir dan diwaspadai. Bisa membahayakan proses dan tradisi peradilan. "Harus dilawan dengan pemikiran peradilan dan negara tidak boleh tunduk," ujarnya.
Wayan mengatakan dari bukti dan alat bukti pasal 184 tidak sedikit pun memberatkan Ahok. "Jaksa juga menyatakan bahwa yang bertanggung jawab menimbulkan keresahan adalah Buni Yani," katanya.
Baca pula:
Vonis Ahok 2 Tahun Penjara, Yusril Ihza: Hak Majelis Hakim
Berdasarkan Pasal 50 KUHP, menurut Wayan, tidak bisa menghukum orang sedang melaksanakan Undang-undang. "Saat itu Ahok menjalankan Pasal 31 Undang-undang Pemda saat di Kepulauan Seribu untuk kesejahteraan rakyat dengan program ikan kerapu," ujarnya.
Menurut Wayan, tidak satu pun kata yang menyebut kata ulama dalam pidatonya. Yang disebut elit politik yang kerasukan roh kolonialisme. Ada loncatan besar tidak masukan akal dalam pikiran jaksa elit politik jadi ulama sebagai golongan. Golongan itu harus 100 persen. "Kalau hanya sebagian tidak bisa mengunakan pasal 156 KUHP, Harus cari pasal lain," katanya
Wayan mengatakan dengan dasar seperti itu. Saksi tidak ada yang melihat. Ahli yang tidak independen. Surat-surat yang bukan otentik. "Kalau hakim kondisi sempat mengunakan hati nurani dan tidak adalah pilihan lain, Ahok harus bebas," katanya.
IRSYAN HASYIM I S. DIAN ANDRYANTO