TEMPO.CO, Ambon - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan bahwa kesenjangan di Indonesia sudah cukup membahayakan karena adanya perbedaan agama antara yang kaya dan miskin. Kesenjangan ini, menurut Jusuf Kalla. berbeda dengan negara lain.
"Di Thailand, yang kaya dan miskin sama agamanya. Di Filipina juga begitu, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara itu di Indonesia, yang kaya dan miskin berbeda agama," kata Wakil Presiden M Jusuf Kalla saat menutup Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ambon, Minggu, 26 Februari 2017.
Sidang Tanwir Muhammadiyah dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat, 24 Februari 2017. Sidang tanwir Muhammadiyah memutuskan resolusi penguatan kedaulatan dan keadilan sosial. Salah satu isi resolusi tersebut adalah negara tak boleh takluk pada pemilik modal asing maupun dalam negeri yang bisa memporakporandakan tatanan negara. Terutama pemilik modal yang hanya mengeruk kekayaan dan meraih kekuasaan.
Baca: Presiden Jokowi Buka Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ambon
Lebih lanjut Jusuf Kalla menjelaskan, di Indonesia sebagian besar orang yang kaya adalah warga keturunan yang beragama Konghuchu maupun Kristen. Sedangkan orang yang miskin sebagian besar penganut Islam dan ada juga yang Kristen. "Ini sangat berbahaya. Karena itu kita harus berusaha bersama untuk mengatasi hal ini," kata Jusuf Kalla.
Menurut Jusuf Kalla, bahwa persoalan kesenjangan tidak hanya menjadi masalah bangsa Indonesia. Ketimpangan juga terasa antara negara maju dan yang masih berkembang. Kesenjangan dialami oleh negara manapun. Terasuk Amerika Serikat, juga terjadi kesenjangan.
"Pancasila hanya sila ke lima yang sangat sulit kita laksanakan."
"Ketidakadilan juga disebabkan karena kesenjangan. Banyak hal yang telah dilakukan, seperti memberikan kesehatan, klinik murah, dan lain-lain. Tapi itu tidak cukup untuk menutupi ketidakadilan. Harus ada langkah bersama dalam penegakan keadilan," kata Juduf Kalla.
Indonesia, kata Jusuf Kalla, sejak merdeka pada 1945 telah mengalami sedikitnya 15 kali konflik besar, 10 di antaranya disebabkan oleh ketidakadilan politik, ekonomi dan lainnya. Untuk mewujudkan keadilan dan negara yang berkemajuan, selain kerja keras, yang dibutuhkan adalah semangat maju dan bekerja dengan penuh motivasi.
Jusuf Kalla mengapresiasi Muhammadiyah yang mengangkat berbagai isu kemajuan bangsa dalam Tanwir yang berlangsung 24-26 Februari 2017. "Kita semua harus bekerja keras untuk mendorong inovasi dan melibatkan ilmu dalam kerja. Keadilan dapat diciptakan dengan dukungan pemerintah, kita perlu afirmasi. Tanwir sebagai pedoman untuk mewujdukan keadilan. Muhammadiyah harus senantiasa membina masyarakat dan semangat untuk umat agar bisa maju bersama-sama," ucap Jusuf Kalla.
Sebelumnya Ketum PP Muhammadiyah Haedar Natsir atas nama organisasi menganugerahkan penghargaan kepada Jusuf Kalla sebagai bapak perdamaian dan kebhinnekaan. Tindakan Wakil Presiden ini dinilai bukan retorika tapi dalam tindakannya menorehkan jejak nyata.
ANTARA