TEMPO.CO, Jakarta – Beren Rukur Ginting, dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mendukung penerapan sistem antipencucian uang dalam kasus perdagangan satwa di Indonesia. Menurut dia, kejahatan satwa bukan lagi kejahatan biasa, melainkan terorganisasi juga merupakan kejahatan transaksional lintas negara.
Baca:
Begini UU Pencucian Uang Buat Jerat Pelaku Kejahatan Satwa
Ia menyebutkan, hasil penelitian Jaringan Pendidikan Lingkungan pada 2014 menunjukkan bahwa kerugian negara yang ditimbulkan akibat perdagangan satwa mencapai Rp 9 triliun per tahun.
Di tingkat global, kata Beren, kejahatan satwa menduduki peringkat ketiga dari bisnis ilegal setelah narkoba dan perdagangan manusia. “Kejahatan ini sering kali ditemukan berentetan dengan penipuan, pemalsuan, kekerasan, korupsi, dan pencucian uang,” katanya, Jumat, 3 Februari 2017. Dengan demikian, langkah yang penting dilakukan tidak hanya menelusuri jejak pelaku, tapi juga aliran uang dari kejahatan itu.
Baca juga:
Berbalas Kata Cikeas dan Istana
Direktur World Wide Fund (WWF) Sumatera, Indonesia, Anwar Purwoto, mengatakan pemburuan dan perdagangan satwa menjadi salah satu pendorong cepatnya laju kepunahan berbagai satwa di Sumatera. Kegiatan pemburu satwa liar di desa-desa melibatkan bandar (toke), penampung, taxidermist (pembuat satwa awetan), eksportir satwa ilegal, hingga penerima di negara tujuan.
Anwar menuturkan, data WWF Indonesia tentang kejahatan satwa di Indonesia mencatat ada 8 ton gading gajah beredar di Sumatera selama 10 tahun terakhir, lebih dari 100 orang utan diselundupkan ke luar negeri tiap tahun, serta lebih dari 2.000 kukang diperdagangkan di Jawa dan diselundupkan ke luar negeri.
Selain itu, 2.000 ekor tenggiling dijual ilegal ke luar negeri setiap bulan. Lalu, setiap tahun, ada 1 juta telur penyu diperdagangkan di seluruh Indonesia. Perdagangan satwa di sosial media di Indonesia pun marak.
DANANG FIRMANTO
Simak pula:
Wapres Sindir Ahok yang Terlalu Sering Meminta Maaf