TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan Taufik Ismail menilai kondisi Indonesia pada tahun ketiga Presiden Joko Widodo memerintah, seperti situasi kebangkitan Partai Komunis Indonesia. "Situasi minggu-minggu dan bulan-bulan terakhir ini, mirip situasi pada tahun 62, 63, 64, dan 65," kata Taufik, dalam sambutannya dalam deklarasi Alumni Universitas Indonesia Bangkit untuk Keadilan di Perpustakaan UI, Jumat, 27 Januari 2017.
Menurut penyair itu, PKI sedang menyusun kekuatannya dengan sehebat-hebatnya untuk merebut kekuasaan. Namun, setelah gagal pada 1926 dan 1948, mereka berhasil menghasut Presiden Sukarno, untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat yang demokratis, yang dipilih dengan jujur dan tanpa bunuh-bunuhan. Bahkan, tidak ada penipuan penghitungan suara, dan diikuti oleh pers dunia.
Baca:
Taufiq Ismail, Kisah Ngompol dan Antikomunis
Taufiq Ismail Tolak Sidang Rakyat Kasus 1965
Pers Amerika dan Eropa, menyebut ada negara baru sembilan tahun merdeka mengadakan pemilihan yang bersih, dan tidak ada tandingannya di dunia dalam berdemokrasi, yaitu Indonesia. "Tidak ada penghitungan suara yang dicurangi. Ketuanya tokoh besar Masyumi Burhanudin Harahap, dia netral dan tidak mengaju-ngajukan Masyumi supaya menang."
Namun, pada waktu bersamaan ada suatu negara yang jaraknya tidak jauh dari Indonesia menggelar pemilihan umum pertama tapi heboh. Sesama partai berkelahi. Bahkan, ada belasan orang yang terbunuh. Negara itu adalah Filipina. "(Demokrasi) kita dipandang dunia waktu itu," ujarnya.
Baca juga:
Hina Kapolda Jawa Barat, Pelaku Sebut Munafik dan Kafir
Donald Trump Larang Muslim ke AS, Gubernur New York Melawan
Indonesia menjalankan pemilu yang jujur dan tenang. Sedangkan di Filipina juga 10 tahun merdeka, gontok-gontokan dan surat suara dicurangi. Mereka diejek dunia luar. "Itu yang terjadi pada tahun itu."
Ia memaparkan situasi politik berubah ketika Sukarno membubarkan DPR yang demokratis. Sukarno menunjuk 200 orang menjadi anggota DPR yang baru dan melantiknya.
Anggota DPR yang baru mengangkat Sukarno menjadi presiden seumur hidup. Namun, Mohammad Hatta tidak setuju, lalu meletakkan jabatan sebagai wakil presiden.
Saat itu ada satu konsep idieologi negara yakni Nasionalis, Agama dan Komunis yang disatukan. Bagi, komunis konsep itu merupakan kesempatan. "Dia (Sukarno) tidak tahu orang komunis ini kerjanya berdusta dan menjegal. Konsep Nasakom dijegal. Dan mereka merebut kekuasaan ketiga kalinya, tapi gagal juga."
IMAM HAMDI