TEMPO.CO, Malang- Tamu terus mengalir ke rumah dinas di Kompleks Amarta Blok G-101 Pangkalan TNI Angkatan Udara Abdulrachman Saleh di Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Senin siang, 19 Desember 2016.
Mereka memberi penghormatan terakhir pada Mayor (Penerbang) Marlon Ardiles Kawer, sang tuan rumah, yang ikut menjadi korban jatuhnya pesawat Hercules milik TNI AU di Papua, Minggu, 18 Desember 2016.
Marlon, 34 tahun, adalah pilot sekaligus instruktur penerbang pesawat angkut militer Hercules A-1334 yang jatuh di sekitar Gunung Lisuwa, Distrik Minimo, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, pada Ahad pagi. Marlon gugur bersama sebelas awak Hercules A-1334 lainnya dan seorang penumpang dinas dari Satuan Radar 242 Tanjung Warari, Biak, Papua.
“Kami sangat kaget karena kejadiannya begitu cepat bila kita baca kronologi jatuhnya pesawat. Tapi, Puji Tuhan, proses evakuasi berlangsung cepat sehingga jenazah keponakan saya dan kru lainnya bisa segera dibawa ke Malang untuk diserahkan kepada keluarga masing-masing,” kata Marthen Saroy, pakde Marlon.
Marthen datang dari Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya, bersama Estefina Kawer, sepupu Marlon. Sedangkan ayah kandung dan adik Marlon datang dari Biak. Tapi mereka berangkat dengan pesawat yang sama.
Sebagai Wakil Ketua Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) Wamena, Marthen bisa cepat mengetahui peristiwa kecelakaan pesawat itu. Dia mendadak pucat dan panik saat mengetahui pesawat Hercules-lah yang jatuh. Selama ini, setahu Marthen, pesawat Hercules yang sering ke Wamena dipiloti Marlon. Namun, anehnya, tiada kabar apa pun dari Marlon sebelum kejadian. Biasanya Marlon mengabari Marthen di Wamena dan orangtuanya di Biak sebelum berangkat dari Malang.
Komunikasi terakhir Marthen dengan Marlon terjadi pada Juli 2016. “Tapi tidak apa-apa sekarang kami tak bisa berkontak lagi karena dia sudah damai bersama Tuhan,” ujar Marthen.
Menurut Marthen, Marlon sangat ramah kepada siapa pun. Dia sangat dekat dengan keluarga. Bahkan, Marthen menegaskan, Marlon telah menjadi sumber inspirasi bagi keluarga, kerabat, dan kawan-kawannya.
Sejak kecil Marlon bercita-cita jadi pilot Angkatan Udara. Selepas menamatkan SMA Negeri 1 Biak pada 2000, Marlon mendaftar ke Akademi Angkatan Udara (AAU) dan diterima.
Suksesnya Marlon masuk AAU itulah yang menginspirasi keluarga, kerabat, dan kawan-kawannya. “Inspirasi lainnya, almarhum itu sangat disiplin dan tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Marlon seorang yang perfeksionis dalam bekerja," katanya.
Kesan serupa disampaikan Estefina Kawer. Dia terakhir bertemu dan berfoto bareng Marlon pada Juli silam. Mereka berfoto bersama di dalam kawasan Bandar Udara Wamena. Malah, Marlon sempat berpose persis membelakangi Gunung Lisuwa, lokasi jatuhnya Hercules A-1334.
“Lihat, gunung itu sebenarnya tidak tinggi. Tapi waktu kejadian cuaca memang sangat buruk. Langit gelap, awannya tebal sekali. Setelah kejadian, cuaca kembali cerah seperti di gambar ini,” kata Estefina, seraya menunjukkan album foto dirinya bersama Marlon.
Sebagai sepupu, hubungan Estefina dengan Marlon sangat dekat. Marlon yang tampan—beribukan wanita Jawa dan berayah orang Papua—digandrungi banyak gadis di kampungnya. Tapi akhirnya Marlon menikahi Maria Fatmawati, gadis asal Yogyakarta.
Selain tampan, Marlon gampang memikat hati banyak orang karena keramahannya dalam bergaul dengan siapa pun, termasuk kepada anak-anak.
Namun, kini, Marthen dan Estefina hanya bisa memandang foto Marlon sembari memanjatkan doa bagi kedamaian jenazah Marlon. Jenazah Marlon akan dibawa ke Biak pada Selasa subuh nanti setelah dilakukan ibadah Kristiani di rumah duka pada sore tadi.
ABDI PURMONO