TEMPO.CO, Malang - Petugas PT Kereta Api menyita sebuah tabung gas elpiji ukuran tiga kilogram dan sepucuk gunting dari penumpang kereta di Stasiun Kota Baru Malang, Rabu, 30 November 2016. Barang-barang tersebut disita saat petugas polisi khusus kereta api memeriksa calon penumpang. "Disita dari penumpang kereta Jayabaya jurusan Pasar Senen, Jakarta," kata petugas polisi khusus kereta api, Subani.
Tabung gas elpiji dan gunting disita dan disimpan di ruangan pengamanan stasiun. Barang tersebut disita, tapi bisa diambil sewaktu-waktu oleh yang bersangkutan. Adapun pemiliknya tetap diizinkan melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
Subani menduga penumpang tersebut akan mengikuti Aksi Bela Islam jilid III di Jakarta. Sejauh ini, tak ada penjelasan untuk apa tabung gas elpiji dan gunting dibawa ke Jakarta.
Sementara itu, Gerakan Aswaja Malang (Gamal) memberangkatkan para peserta aksi ke Jakarta. Mereka menumpang 10 bus dan sejumlah minibus. "Rabu pagi berangkat ke Jakarta," kata juru bicara Gamal, Hisa Al Ayubi Solahuddin.
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Muhammad Fauzan menilai, Aksi Bela Islam merupakan sebuah anomali dari aksi yang terjadi selama ini. Sejumlah aksi massa seperti Malari, Tritura, dan Reformasi digerakkan karena krisis ekonomi dan ketidakpercayaan kepada pemimpin digerakkan oleh mahasiswa. "Kali ini eksponen mahasiswa hanya simpatisan, bukan penggerak atau aktor," ujarnya.
Dia menilai Aksi Bela Islam merupakan aksi massa besar pasca-reformasi akibat krisis kepemimpinan bangsa. Rakyat, kata dia, mudah digerakkan oleh para pemimpin opini (opinion leaders) dibandingkan dengan pemimpin formal. Kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya merosot.
Menurut Fauzan, bagi umat Islam, pemimpin tak hanya dilihat dalam kemampuan manajerial dan pengambilan keputusan, tapi juga berkaitan dengan perilaku dan sikap yang diteladani. Tak ada pemimpin ideal yang membuat rakyat kecewa. “Tugas pemerintah mengelola kekecewaan menjadi harapan," ucapnya.
EKO WIDIANTO