TEMPO.CO, Lumbis Ogong - Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Provinsi Kalimantan Utara Udau Robinson mengimbau kepada seluruh masyarakat di perbatasan di Nunukan, Kalimantan Utara, untuk tidak takut mengakui bahwa mereka memiliki KTP ganda, yaitu Indonesia dan Malaysia. Kepemilikan KTP Malaysia bagi penduduk perbatasan bukan lantaran berkhianat kepada Indonesia.
Robinson mengajak semua pihak untuk memahami persoalan kepemilikan KTP ganda. “Bukan berkhianat, melainkan karena kebutuhan dan layanan,” katanya di Desa Simantipal, Lumbis Ogong, Kalimantan Utara, Rabu, 3 Agustus 2016.
Robinson mengibaratkan warga Simantipal seperti warga Bogor. Sedangkan Malaysia diibaratkan sebagai Jakarta. Menurut dia, warga Simantipal banyak yang bekerja di Malaysia karena keterbatasan pekerjaan di daerahnya.
Robinson berujar bahwa ia pernah memasuki wilayah Malaysia hingga ke pusat kegiatan ekonomi. Ia menyebutkan ada sebagian wilayah di Malaysia yang dijadikan perkebunan pohon karet. Banyak masyarakat di perbatasan yang menjadi buruh di kebun karet milik Malaysia.
Menurut Robinson, kondisi demikian harus dibalik. “Kemudahan diberikan pemerintah Malaysia. Seharusnya kitalah yang memberikan.”
Julius, warga Simantipal, membenarkan ucapan Robinson. Ia mengakui telah bekerja di perkebunan milik Malaysia. Itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan ketiga anaknya. Ia mengatakan pergi bekerja ke Malaysia karena di wilayah perbatasan tidak ada ladang bertani.
Sementara itu, Ketua Pemuda Penjaga Perbatasan Paulus Murang menyebutkan ada 28 desa yang terancam dikuasai Malaysia, salah satunya Simantipal. Ia pun meminta pemerintah mengupayakan langkah cepat untuk menyelesaikan persoalan perbatasan. Selain itu, ia meminta pemerintah segera membuka lahan perkebunan, perumahan, dan akses jalan agar warga, khususnya Simantipal, tidak harus pergi ke Malaysia untuk mencari pemasukan.
DANANG FIRMANTO