TEMPO.CO, Pontianak - Puluhan warga Desa Olak-olak, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat mendirikan tenda di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kalimantan Barat di Pontianak. Telah lima hari mereka "mengungsi" karena takut ditangkap polisi.
Kepala Seksi Pembangunan dan Ekonomi Desa Olak-olak, Mursi, mengatakan ketakutan muncul seusai unjuk rasa di dekat areal perusahaan sawit PT Sintang Raya pada 23 Juli 2016. "Demo damai itu berakhir ricuh. Beberapa warga ditangkap dengan tuduhan pengeroyokan," kata Mursi, Selasa, 1 Agustus 2016.
Empat orang ditahan Polres Mempawah dengan tuduhan mengeroyok seorang polisi. Mursi menyanggah bahwa warga berniat anarkistis. Semula, kata dia, aksi itu hanya berupa kegiatan yasinan lalu bergeser ke dekat lokasi PT Sintang Raya. Namun, karena berdesak-desakan saat mediasi, unjuk rasa damai itu berubah menjadi perkelahian dengan polisi.
Ketakutan warga bertambah saat aparat Brimob Polda Kalimantan Barat menangkap Katim, 40 tahun. Katim, kata Mursi, ditangkap dalam keadaan sakit. "Surat panggilan polisi ditandatangani oleh anak saya, Krisyonatan, 12 tahun. Anak saya dipaksa," kata Purwaningsih, 36 tahun, istri Katim.
Warga lainnya, Mariah, 37 tahun, mengimbuhkan polisi menggeledah rumah warga yang dicurigai mencuri sawit. Preman perusahaan, kata dia, juga ikut dalam penangkapan warga. "Anak saya trauma karena polisi mendobrak pintu," ujarnya.
Ketua Aliansi Gerakan Reformasi Agraria Kalimantan Barat Wahyu Setiawan berharap Komnas HAM memberikan perlindungan kepada warga. "Kami ingin jaminan agar polisi tidak melakukan penangkapan yang tidak berdasar," ujarnya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Barat Komisaris Besar Suhadi S.W. membantah polisi merazia rumah warga yang dicurigai mencuri sawit. "Kebetulan atas laporan perusahaan, ada warga yang melakukan pencurian sawit di konsesi perusahaan dalam jumlah banyak."
Suhadi juga menyebutkan bahwa ada seorang polisi yang luka-luka akibat dikeroyok warga. Kasus itu, kata Suhadi, telah ditangani Polres Mempawah. "Polisi akan menyelidiki mobilisasi massa dari daerah lain, dengan iming-iming kerja memanen sawit. Ternyata mereka diarahkan untuk demo," katanya.
Sengketa lahan antara warga Desa Olak-olak dengan PT Sintang Raya telah berjalan lama. Musababnya, lahan konsesi perusahaan itu diklaim tumpang tindih dengan lahan kelola masyarakat. Masyarakat mengajukan gugatan, hingga pada putusan Mahkamah Agung, yang mengabulkan gugatan warga untuk mengembalikan areal yang tumpang tindih dengan warga.
Namun putusan lembaga peradilan tertinggi itu ditolak perusahaan. "Perlu dicermati, putusan MA ada tiga poin. Pada poin ketiga disebutkan, luasan yang dikembalikan bukan 11 ribu hektare lebih seperti yang dituntut warga, hanya 5 hektare," ujar Harlan Sitorus, kuasa hukum PT Sintang Raya.
Harlan berdalih masih menunggu sertifikat baru dari Badan Pertanahan Nasional Kubu Raya dan mencabut sertifikat yang lama sesuai putusan MA. Harlan mengklaim warga telah mengambil buah sawit sebanyak 1 ton. "Warga belum punya dasar untuk memanen di kawasan yang masih termasuk konsesi PT Sintang Raya, maka kami laporkan pencurian."
ASEANTY PAHLEVI