TEMPO.CO, Jakarta - Markas Besar Kepolisian RI menetapkan tiga tersangka tindak pidana perdagangan orang. Pengusutan kasus ini bermula dari laporan korban berinisial YS pada 3 Mei 2016.
Tiga tersangka itu adalah AR alias VIO, RHW alias Rendi alias Radit, dan SH alias Sarip. AR dan Radit merupakan pasangan suami-istri, sedangkan Sarip pegawai biro jasa imigrasi di Jakarta.
Kepala Sub-Direktorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Umar Surya Fana menceritakan, pada Desember 2015, AR alias VIO merekrut YS dan korban lain melalui media sosial, di antaranya lewat aplikasi WeChat, Bee Talk, dan Tagged. Mereka dijanjikan dipekerjakan sebagai pegawai salon spa atau restoran dengan gaji Rp 15 juta per bulan.
"Namun, begitu sampai di Malaysia, mereka dijadikan PSK (pekerja seks komersial)," kata Umar di kantornya di Jakarta Selatan, hari ini, Senin, 1 Agustus 2016.
Baca:
ABG Indonesia di Malaysia Dipaksa Jadi PSK
WNI Jadi Korban Perbudakan Seks di Amerika
Sebelum berangkat ke Malaysia, Umar meneruskan, korban dibuatkan paspor di kantor imigrasi di wilayah Jakarta menggunakan dokumen palsu. Tersangka Radit yang memesan paspor itu kepada tersangka Sarip seharga Rp 9,5 juta per paspor.
Nama YS di dalam paspor berubah menjadi MSN, nama orang lain yang memiliki paspor. Dia seakan-akan pernah memiliki paspor, tapi hilang. Polisi tengah menelusuri keterlibatan pegawai imigrasi yang menerbitkan paspor tersebut.
Menurut Umar, para korban ditampung di sebuah apartemen di Kelapa Gading, Jakarta Utara, selama dua minggu hingga satu bulan. Lalu 12 orang diberangkatkan ke Malaysia secara bertahap. Sesampainya di Malaysia, korban dijemput oleh jaringan tersangka AR, yaitu Koh Afey dan Koh Asem.
Mereka lantas dibawa ke tempat spa di Kuala Lumpur, ibu kota Malaysia. Di sana, korban disuruh bekerja sebagai pelacur dan melayani 1-9 orang setiap hari. "Selama dua bulan tidak digaji dengan alasan korban masih berutang biaya berangkat dan administrasi," ucap Umar.
YS lantas izin pulang ke kampung halaman dengan alasan orang tuanya sakit. Sesampainya di Indonesia, ia langsung membuat laporan ke Bareskrim Polri pada Mei lalu.
Umar menjelaskan, dari 12 korban asal Jawa Barat dan Jakarta, dua orang di antaranya sudah berada di Indonesia. Lima orang berada di ruang Detensi Imigrasi Kuala Lumpur, sementara empat orang lagi di rumah perlindungan khas wanita.
Korban lain tidak diketahui keberadaannya. Bareskrim kini bekerja sama dengan pihak Kuala Lumpur untuk mencari korban lainnya.
Simak pula:
Pelantikan Pengurus PDIP Diwarnai Seruan 'Lawan Ahok'
Mabes Polri Belum Tahu Budi Gunawan Jadi Kepala BIN
Mike Mohede Meninggal, Tak Pernah Mengeluh Sakit Jantung
Dishub Mengultimatum Pengelola Taksi Online, Ini Ancamannya
Eva Sundari: Orang Memprotes Speaker Masjid Bukan Kejahatan
Saat AR dan Radit ditangkap, polisi menemukan buku catatan para pelanggan yang dilayani korban sebagai PSK. Buku ini digunakan AR untuk menghitung jumlah fee atau setoran dari jaringannya di Malaysia. AR mendapat 10 ringgit Malaysia setiap satu pelanggan. Polisi juga menemukan buku tabungan yang berisi transfer uang dari Malaysia berjumlah Rp 17 juta.
AR dan suaminya, Radit, ditahan di Rumah Tahanan Bareskrim sejak 27 Juli. Esoknya, Sarip ditangkap di halaman kantor imigrasi wilayah Jakarta. Polisi melanjutkan penggeledahan di rumah Sarip di Cipondoh, Tangerang.
Penyidik menemukan dokumen berupa empat berkas permohonan paspor, fotokopi kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan akta kelahiran. Sarip diduga kuat sebagai sindikat pembuat dokumen palsu untuk pembuatan paspor.
REZKI ALVIONITASARI