TEMPO.CO, Jakarta - Dua wihara dan lima kelenteng yang terletak di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, dibakar massa. Peristiwa itu yang dipicu permasalahan etnis akibat salah paham yang terjadi di antara mereka dan seorang penduduk keturunan Tionghoa.
Pembakaran tempat ibadah dan kerusuhan itu baru dapat diredakan sekitar pukul 03.30 WIB dini hari tadi setelah polisi melakukan mediasi dan terus mengimbau warga setempat kembali ke rumah masing-masing.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Tanjung Balai Ajun Komisaris Besar Ayep Wahyu Gunawan, permasalahan itu bermula pada Jumat, 29 Juli 2016, sekitar pukul 17.55 WIB. Saat itu seorang warga keturunan Tionghoa, M, merasa terganggu dan komplain soal suara adzan maghrib dari pengeras suara di masjid yang berada tepat di depan rumahnya.
Sempat terjadi perselisihan antara M dan jemaah masjid tersebut. Anggota kepolisian setempat pun telah berusaha melakukan mediasi bersama pihak kelurahan.
Saat mediasi, Ayep menuturkan, beredar informasi yang salah melalui pesan berantai. Pesan lewat media sosial itu menyebutkan bahwa masjid tadi dilarang memperdengarkan adzan. Pesan berantai itulah yang akhirnya menyulut kemarahan umat Islam di Tanjung Balai.
“Awalnya, mereka mendatangi rumah M, sempat mau merusak, lalu bergerak, bertambah, karena informasi itu cepat sekali. Isunya sudah berubah, melenceng dari fakta,” ucap Ayep saat dihubungi Tempo, Sabtu, 30 Juli 2016. Saat ini M, menurut Ayep, masih berada di kantor polisi setempat untuk menghindari kemungkinan diamuk massa.
Akibat peristiwa tersebut, tak hanya tempat ibadah umat Buddha yang terbakar, tapi juga 3 mobil, 3 sepeda motor, dan 1 becak motor. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. “Yang terbakar hanya sebagian bangunan, karena ada peralatan sembahyang seperti kertas dupa yang mudah sekali terbakar. Tapi sejumlah kendaraan ikut terbakar,” ujar Ayep.
DESTRIANITA K.