TEMPO.CO, Denpasar - Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan pemerkosa atau pelaku kejahatan seksual terhadap anak sering kali berasal dari lingkungan terdekatnya. "Karena itu, diperlukan kewaspadaan kepada orang-orang tersebut," katanya dalam seminar bertema “Stop Kekerasan Seksual pada Anak” di Hotel Nikki, Denpasar, Sabtu, 16 Juli 2016.
Di hadapan 1.100 peserta, yang mayoritas merupakan kalangan perawat dari sejumlah rumah sakit di Bali, Arist menuturkan selama 2015 ada 6.725 kasus (51 persen merupakan kejahatan seksual). Dari jumlah itu, 237 kasus dilakukan anak di bawah umur, yakni 14 tahun. Adapun 82 persen korbannya berasal dari keluarga menengah ke bawah.
Pria kelahiran Pematang Siantar, 17 Agustus 1960, itu juga mengimbau para orang tua, termasuk semua pihak, mewaspadai sepak terjang predator seksual, yang bila situasi memungkinkan bakal melakukan kekerasan terhadap anak. “Saat ini hampir tidak ada ruang yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk bermain,” ujarnya.
Predator seksual umumnya berasal dari empat lingkungan, yaitu rumah (ayah tiri, ayah kandung, kakak, paman, tukang kebun, sopir mobil jemputan, dan kerabat dekat); sekolah (guru reguler, guru spiritual, penjaga sekolah, keamanan sekolah, tukang kebun, dan pengelola sekolah); lingkungan sosial (tetangga, pedagang keliling, dan teman sebaya); dan panti/boarding school (pengelola panti, pengasuh, dan sesama anak asuhan panti).
“Anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Adapun hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara,” ujar Arist.
Aris menuturkan anak sangat rentan terhadap segala bentuk eksploitasi, kekerasan, diskriminasi, dan penelantaran. “Anak juga menjadi sosok yang lemah dan paling rentan dalam situasi apa pun dalam keluarga, masyarakat, dan negara," tuturnya.
Pemerhati anak, Irene F. Mongkar, menambahkan, bila ditinjau dari dampak psikologisnya, 79 persen korban kekerasan dan pelecehan seksual mengalami trauma yang mendalam, depresi, fobia, dan menarik diri dari lingkungan. “Stres yang dialami korban dapat mengganggu fungsi dan perkembangan otaknya,” ucapnya.
Adapun empat jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami anak-anak itu adalah pengkhianatan (betrayal), merasa terancam, trauma secara seksual (traumatic sexualization), dan merasa tidak berdaya (powerlessness). "Selain itu, korban kekerasan seksual umumnya merasa bersalah, malu, dan memiliki gambaran diri yang buruk."
ROFIQI HASAN