TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dede Yusuf mengatakan pihaknya memberikan tenggat waktu dua pekan bagi satuan tugas penanggulangan vaksin palsu untuk membuka data rumah sakit dan fasilitas layanan kesehatan yang disinyalir mendistribusikan vaksin palsu.
“Kalau sudah dua minggu dibentuk, mestinya sekarang-sekarang ini (datanya) sudah harus dibuka,” kata Dede di kompleks Parlemen Senayan, Rabu, 13 Juli 2016.
Dede menilai, kinerja satuan tugas penanggulangan vaksin palsu pada 27 Juni 2016 terkesan lambat. DPR menerima laporan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus vaksin palsu pada 30 Juni 2016. Namun, ketika itu, dari laporan yang diterima, nama-nama yang diduga terlibat masih berupa inisial.
Ia pun mendesak DPR mengungkapkan progres kinerja satgas. Awal Juli 2016, DPR kembali menerima laporan dari satgas penanggulangan vaksin palsu. Saat itu, nama-nama yang diduga terlibat telah lengkap, tapi belum bisa dipublikasikan karena masih dalam tahap penelusuran. “Progres sudah ada,” ujarnya. Namun satgas dan DPR tetap menjunjung asas praduga tak bersalah.
Menurut Dede, jika para pihak yang diduga terlibat diumumkan pada awal Juli, akan ada penghakiman dari publik. Padahal, menurut Dede, belum tentu rumah sakit yang disinyalir mendistribusikan vaksin palsu sepenuhnya bersalah. Ia menilai, bisa saja pihak yang terlibat pengadaan vaksin palsu hanya perawat atau bagian purchase order.
Kini DPR mendesak satgas mengungkapkan detail rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang diduga mendistribusikan vaksin palsu. Sebab, menurut Dede, tenggat waktu yang diberikan telah melampaui batas. Tujuan pengungkapan itu, selain untuk menemukan kepastian pihak yang terlibat, untuk mencari titik lemah rumah sakit. Ia mencontohkan standar operasional prosedur untuk pemesanan produk vaksin.
Selain itu, DPR ingin tahu alasan konkrit vaksin dipalsukan. Dede menambahkan, pihaknya ingin mengetahui dengan gamblang siapa saja yang terlibat, siapa yang direkrut, dan sindikat vaksin palsu yang ditengarai sudah ada sejak 2003. Ia menduga, ada pihak yang ingin mencari keuntungan dari kasus ini.
Vaksin yang dipalsukan, menurut Dede, merupakan vaksin impor. Sebab, harga vaksin impor bisa mencapai lebih dari Rp 500 ribu dengan kualitas vaksin yang terjamin. Sedangkan vaksin palsu, kata dia, adalah vaksin dari pemerintah yang harganya jauh lebih murah lalu dicampur dengan zat-zat lain, misalnya insulin.
Hari ini DPR menggelar rapat dengan Kementerian Kesehatan untuk membahas vaksin palsu. DPR mendesak Kementerian Kesehatan menyebut secara jelas lokasi dan nama-nama rumah sakit serta fasilitas kesehatan yang disinyalir mendistribusikan vaksin palsu. Namun Kementerian Kesehatan berkilah membeberkan itu.
DPR akhirnya memutuskan melanjutkan rapat pada Kamis, 14 Juli 2016. Dede menilai, Kementerian Kesehatan tidak berani mengungkap hal itu karena ada larangan dari Badan Reserse Kriminal. Untuk itu, DPR akan mengundang Bareskrim dalam rapat besok bersama Kementerian Kesehatan dan BPOM. “Kita tunggu saja besok,” kata Dede.
DANANG FIRMANTO