TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin Redaksi Obor Rakyat Setyardi Budiono mengakui, selama proses pembuatan berita, ia hanya mengandalkan sumber dari media sosial dan riset kecil-kecilan yang ia lakukan.
"Boleh (ambil berita dari media sosial). Banyak sekali narasumbernya dari media sosial. Banyak," kata Setyardi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 17 Mei 2016.
Setyardi menampik tuduhan bahwa Obor Rakyat hanya memberitakan keburukan Joko Widodo, yang saat itu menjadi calon presiden pada 2014. "Kami waktu menulis itu, baru Jokowi yang mendeklarasikan diri menjadi calon presiden. Karena waktu itu PDIP duluan deklarasi," ujarnya.
Setyardi mengungkapkan bahwa surat kabar yang ia kelola bersama Darmawan Sepriyossa, yang menjabat redaktur pelaksana, juga akan menuliskan tentang calon presiden lain, yaitu Prabowo Subianto. Namun niat tersebut tidak terlaksana lantaran Obor Rakyat dilarang terbit kembali. "Belum sempat menulis Pak Prabowo, kami sudah dipanggil polisi," tuturnya.
Untuk narasumber, Setyardi mengaku melakukan riset dari beberapa sumber. Dalam persidangan, jaksa sempat menyebutkan Obor Rakyat tidak berbadan hukum. Menanggapi hal itu, Setyardi mengatakan ingin mengejar momen pemilihan presiden sekaligus tes pasar.
Menurut Setyardi, dalam mengurus badan hukum, setidaknya dibutuhkan waktu tiga bulan. Jika harus menunggu urusan badan hukum selesai, ia akan kehilangan momen untuk memperkenalkan Obor Rakyat.
"Namanya ini kan tes pasar. Anda kalau mau jualan, jual aja dulu enggak usah bangun toko yang besar dan bagus. Jual aja dulu. Nanti kalau sudah jadi, barulah setelah itu badan hukum menyusul. Jangan ketinggalan momen," ucapnya.
Untuk edisi pertama, Obor Rakyat mencetak 281.250 eksemplar. Tabloid tersebut kemudian dikirim melalui kantor pos ke beberapa Pondok Pesantren, antara lain pondok pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Untuk biaya cetak dan biaya pengemasan, Obor Rakyat mengeluarkan dana sebesar Rp 253.125.000.
"Target pasar kami memang pesantren. Setiap media pasti punya target pasar. Saya menganggap pesantren itu perlu diberi informasi," katanya.
Ketika membaca surat kabar tersebut, Joko Widodo terusik karena sebagian besar isi tulisan itu tidak benar serta tanpa didukung data yang akurat secara hukum. Selain itu, Obor Rakyat edisi 01 tanggal 5-11 Mei 2014, yang didirikan terdakwa, tidak terdaftar dan tidak memiliki badan hukum serta susunan redaksi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Jokowi mengadukan perbuatan terdakwa secara tertulis ke penyidik Bareskrim Polri pada 15 Juni 2014. Atas perbuatannya, mereka diancam dengan Pasal 310 ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 311 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
LARISSA HUDA