TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen (Purn) Agus Widjojo menilai penguakan dan penyelesaian tragedi 1965 merupakan langkah penting dalam membangun bangsa dan negara ke depan. Oleh karena itu pada pekan lalu diadakan simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan".
"Itu semua idealnya menurut dan sesuai dengan teori rekonsiliasi," kata Agus yang juga berperan sebagai Ketua Dewan Pengarah simposium tersebut.
Di kantornya di kawasan Monumen Nasional Jakarta, Agus menerima Tempo untuk wawancara khusus tentang hal tersebut, pada Kamis pekan lalu. Berikut ini petikan wawancaranya yang dapat dilihat selengkapnya di Majalah Tempo edisi Senin 25 April 2016.
Sebagai Gubernur Lemhannas, Anda melihat penguakan tragedi 1965 ini penting untuk kemajuan bangsa kita ke depannya?
Dilihat dari ketahanan nasional, itu perlu. Saya melihat bagaimana masyarakat terkotak-kotak. Sementara negara lain jalan terus, kita masih saling mencurigai. Ini harus sampai pada suatu pengakhiran yang bisa diterima semua orang.
Simposium ini disebut sebagai langkah awal menuju rekonsiliasi nasional....
Itu semua idealnya menurut dan sesuai dengan teori rekonsiliasi. Ada empat elemen. Pertama, pengungkapan kebenaran, dan ini di atas segala-galanya. Ternyata ada yang mengalami tindak kekerasan, korban, terduga pelaku, dan militer yang bisa bebas melakukan tugas politik tanpa intervensi. Ini adalah pelajaran.
Kedua, soal keadilan. Dan keadilan itu tidak cuma di pengadilan. Ada keadilan tradisional dan ada keadilan restoratif. Korban mengalami kerugian apa saja; fisik, tidak bisa sekolah karena kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Ketiga, kebijakan untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia. Dan, keempat, bila ada kelemahan di sisi kewenangan kelembagaan, perlu reformasi kelembagaan.
Keempat poin itu dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Semua memulai dengan derajat yang sama dan tidak ada diskriminasi. Masalahnya, tidak semua orang mengerti konsep rekonsiliasi. Ada yang maunya keras, langsung ke titik yang dia mau.
Ada kecurigaan bahwa hasil akhirnya akan menggiring bahwa korban tragedi 1965 adalah hasil konflik horizontal. Benarkah demikian?
Intinya simpati terhadap korban itu sangat besar. Kalau mau rekonsiliasi tidak boleh berpihak. Ini hanyalah untuk mereka yang bisa berpikir dalam tataran kenegarawanan. Tapi Pak Nur Kholis dari Komnas HAM jujur bahwa bagaimanapun Komnas HAM harus melihat dari perspektif korban. Sedangkan korban itu banyak. Saya mengatakan rekonsiliasi itu untuk kepentingan nasional. Kepentingan terhadap korban itu nantinya akan mengalir setelah proses rekonsiliasi berlangsung.
BACA JUGA:
Ini Cerita di Balik Penyelenggaraan Simposium 1965
Haruskah Negara Minta Maaf Soal 1965, Ini Kata Agus Widjojo
Ekspektasi publik sangat besar terhadap simposium ini. Apakah harapan mereka terpenuhi?
Yang saya bilang tadi, ini adalah eksperimen. Untuk mencerahkan publik agar punya kedalaman pemahaman tentang tragedi 1965 dan konsep rekonsiliasi sebagai salah satu alternatif pengakhiran pelanggaran berat hak asasi, khususnya tragedi 1965.
Akan ada simposium lanjutan setelah ini?
Itu tergantung kebutuhan. Kalau ada kebutuhan, kami siap.
TITO SIANIPAR