TEMPO.CO, Yogyakarta - Abdi dalem, menurut Wakil Penghageng Tepas Tandha Yekti Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudahadiningrat bisa dari kalangan masyarakat mana pun tanpa membedakan suku dan agama. Yang terpenting ikhlas dan tulus mengabdi. Meskipun dalam pengabdiannya, abdi dalem mendapat perintah dari Sultan yang bertahta, mendapatkan gaji berupa kekucah, dan ada pekerjaan yang harus dilakukannya laiknya pekerja.
“Mengabdi bukan mencari gaji yang besar. Di keraton, gajinya kecil sekali. Lebih dititikberatkan pada pengabdiannya,” kata Yudahadiningrat saat ditemui Tempo di kediamannya Ndalem Suryawijayan Yogyakarta, Selasa, 19 April 2016.
Berdasarkan asal usulnya, Yudahadiningrat menjelaskan, abdi dalem dibagi dua. Abdi dalem Keprajan, yaitu pegawai pemerintah yang masih aktif maupun sudah pensiun, termasuk juga TNI/Polri yang mendaftarkan diri sebagai abdi dalem. Kewajiban mereka adalah sowan bekti, seperti ketika sungkeman pada Hari Raya Idul Fitri. Namun mereka tidak mendapat kekucah (gaji) karena telah mendapatkan gaji di pemerintahan maupun uang pensiun. Beberapa pejabat yang menjadi abdi dalem antara lain, Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo dan Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti.
Kemudian abdi dalem Punakawan, yaitu abdi dalem yang bertugas di keraton. Abdi dalem Punakawan pun dibagi dua, yaitu bertugas di Tepas (kantor keraton) tiap jam kerja atau bertugas harian. Serta Caos, yaitu abdi dalem yang tidak diwajibkan tiap hari masuk. Abdi dalem Punakawan berhak atas kekucah maupun honor dari dana keistimewaan.
Sedangkan persamaan abdi dalem Keprajan dan Punakawan adalah mempunyai tingkatan pangkat yang sama. Sebelum diangkat menjadi abdi dalem disebut Magang selama dua tahun. Setelah diangkat menyandang pangkat terendah, yaitu Jajar, kemudian Bekel Anom, Bekel Sepuh, Lurah, Penewu, Wedana, Riyo Bupati, Bupati Anom, Bupati Sepuh, dan Bupati Kliwon.
Pertimbangan kenaikan pangkat antara lain dari presensi, juga keahliannya. Lama waktu untuk naik pangkat adalah tiga tahun atau lebih. Berdasarkan struktur pemerintahan keraton, semua disebut abdi dalem. “Tak terkecuali adik, anak, menantu, dan permaisuri,” kata Yudahadiningrat.
Besaran kekucah berdasarkan pangkat abdi dalem. Jajar mendapat kekucah Rp 15 ribu per bulan dan paling tinggi adik Sultan sebesar Rp 90 ribu per bulan. Sedangkan honor dari alokasi dana keistimewaan untuk Tepas lebih tinggi ketimbang Caos. Untuk Tepas paling rendah Rp 1,1 juta per bulan dan paling tinggi Rp 2,5 juta per bulan. Bahkan Sultan yang bertahta mendapat honor Rp 3,8 juta per bulan.
Untuk honor Caos terendah Rp 150 ribu per bulan dan tertinggi Rp 400 ribu per bulan. Total dana keistimewaan yang merupakan dana alokasi khusus (DAK) dari pusat untuk honor abdi dalem keraton sebesar Rp 900 juta per bulan untuk 1.800 orang abdi dalem.
Yudahadiningrat menjelaskan, tidak ada batasan usia untuk menentukan waktu miji atau pensiun abdi dalem. Sepanjang masih sehat dan mampu melaksanakan tugas keraton sehari-hari, meskipun usia lanjut hingga 85 tahun tidak akan dipensiunkan. Tetapi abdi dalem yang baru berusia 40 tahun dan sudah mengenakan tongkat, maka akan dipensiunkan. “Pensiun bukan karena usia, tapi fisiknya. Karena abdi dalem bertugas menyampaikan bakti kepada Ngarso Dalem dan keraton,” kata Yudahadiningrat.
Adapun bagi adik Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat, abdi dalem keraton sebenarnya adalah pekerja. Lantaran keraton adalah sebuah pemerintahan yang memiliki struktur pemerintahan sendiri sebagai lembaga kebudayaan. Bahkan kekucah dari Sultan, menurut Yudhaningrat berasal dari APBD DIY.
Lantaran ada sejumlah aset keraton yang dikelola pemerintah daerah, seperti Pasar Beringharjo, Stasiun Tugu. “Abdi dalem, bukan rewang atau batur. Mereka pegawai keraton,” kata Yudhaningrat yang menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Kridhamardhawa saat ditemui Tempo di Kepatihan Yogyakarta, Kamis, 21 April 2016.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Baca juga:
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, Abdi Raja atau Pegawai?
Kepala BPJS: Abdi Dalem Keraton Berhak pada Jaminan Sosial