TEMPO.CO, Jakarta - Bertambahnya target penyelesaian perkara pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015 hingga 2019 tidak diikuti dengan anggaran Kejaksaan yang memadai. RPJMN menargetkan penyelesaian ratusan ribu perkara, sementara anggaran Kejaksaan 2016 hanya cukup untuk puluhan ribu perkara.
"Anggaran pada 2016 untuk menyelesaikan 39 ribu perkara. Dalam RPJMN, ditargetkan setahun menyelesaikan 131 ribu perkara," ujar peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPI), Dio Wicaksana, dalam diskusi Penganggaran Perkara Kejaksaan di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Ahad, 13 Maret 2016.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan besar anggaran kejaksaan pada 2016 adalah Rp 4,706 triliun. Anggaran yang nilainya lebih kecil Rp 361 miliar dari tahun lalu itu dengan perincian untuk belanja pegawai operasional Rp 3 triliun, belanja barang operasional Rp 557 miliar, dan belanja barang nonoperasional Rp 1 triliun.
Baca: Pakar Bahasa Indonesia J.S. Badudu Berpulang
Dio menilai anggaran yang mengecil itu akan berdampak buruk pada efektivitas dan efisiensi kerja jaksa penuntut umum. "Jaksa menjadi serba terbatas dalam hal menangani perkara."
Sebagai contoh, jaksa tak bisa lagi sembarang memanggil saksi ahli untuk perkara illegal fishing. Hal itu dikarenakan harga jasa saksi ahli yang begitu mahalnya hingga ratusan juta rupiah.
"Seharusnya anggaran ini diperbesar dan dialokasikan berdasarkan tingkat perkaranya. Kalau sulit, dianggarkan besar," ujar Dio.
Baca Juga: Mahasiswa ITB Tewas Habis Lari, Telepon Terakhirnya ke Ortu
Menanggapi pernyataan Dio, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Narendra Jatna mengatakan jaksa sendiri terbatasi dalam mengajukan anggaran. Sebab, sebagai aparatur sipil negara, jaksa harus memastikan anggaran yang diajukan benar-benar terpakai semuanya. Jika tidak, akan dianggap berperforma buruk oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan anggaran tahun berikutnya dipotong.
"Jadi, karena kami aparatur sipil negara, sistem penganggaran kami mengacu pada jumlah perkara seperti halnya program kerja. Namun, tak ada yang bisa meramal berapa besar perkara tiap tahunnya. Jadi tak bisa asal," ujar Narendra.
Narendra pun mengungkapkan bahwa dalam penganggaran, jaksa tak pernah memasukkan komponen optional seperti halnya saksi ahli. Sebab belum tentu ada perkara di mana saksi ahli dibutuhkan. Kalau membuat anggaran untuk komponen khusus dan tak terpakai, lagi-lagi anggaran akan dipotong.
ISTMAN M.P.