TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar filsafat di Universitas Indonesia, Rocky Gerung, mengatakan surat edaran Komisi Penyiaran Indonesia tentang sensor dibuat dengan standar berbasis patriarki. Menurut dia, surat edaran tersebut meletakkan perempuan di bawah standar dan menganggap tubuh perempuan sebagai sarang dosa.
Rocky menilai ada pola pikir yang buruk (bad mind) saat ada pelarangan presenter acara televisi bersikap keperempuan-perempuanan. "Sebaliknya, kalau perempuan bersikap seperti laki-laki atau kemacho-machoan malah diapresiasi publik," kata Rocky dalam diskusi “Menyoal Sensor” di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu, 2 Maret 2016.
Rocky menganggap surat edaran itu bagian dari menyensor persoalan. Secara faktual, kata Rocky, persoalan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) serta ekspresi tubuh mesti hidup di masyarakat terbuka. "Ini menunjukkan ketiadaan pemikiran yang cair dan dijadikan alat menunggangi moral mayoritas. Mereka tidak tahu isi konkret dari demokrasi," ujar Rocky.
Menurut dia, penyensoran ini sama dengan yang terjadi pada abad ke-16 ketika doktrin gereja Katolik mengeluarkan sylabus of error terhadap liberalisme dan sekularisme. "Dulu dianggap liberalisme dan sekularisme adalah dosa, dan saat ini diulangi. Kalau sakit jiwa, saya maklumi pikiran itu," tuturnya.
Rocky mengatakan demokrasi hidup dari perubahan dan perlu keterbukaan pikiran. Persoalan sensor, kata dia, tidak akan selesai sampai negara mengambil keputusan. "Isi perundang-undangan itu paling hanya setipis kulit untuk menunggangi kesalehan mayoritas," ucapnya.
Komisi Penyiaran Indonesia pada Selasa, 23 Februari 2016, mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan pembawa acara televisi berpenampilan menyerupai wanita. Dalam kebijakan yang dibuat oleh KPI berdasarkan pemantauan dan aduan yang diterima itu, ada beberapa poin yang tidak boleh ditampilkan dalam program televisi, di antaranya gaya berpakaian, riasan (make up), dan gaya berbahasa seperti wanita.
ARKHELAUS W.