TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Kehutanan Nasional mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi masuk ke sektor kehutanan. "Kami melihat sektor hutan memiliki potensi besar untuk perilaku korupsi," kata Anggota Dewan Kehutanan Nasional Martua T. Sirait di Kalibata Timur, Jakarta Selatan pada Sabtu, 20 Februari 2016.
Martua mengatakan sektor hutan memiliki masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Ia menyebutkan tiga masalah utama dalam sektor hutan: pengukuhan, konflik, dan perizinan.
Pengukuhan berkaitan dengan kepastian kawasan. Batas kawasan hutan serta pengelola hutan perlu dipertegas. Selama ini, 99,5 persen kawasan hutan dikelola oleh swasta. Sementara masyarakat hanya mengelola sisanya.
Martua mengatakan ketimpangan terkait dengan pengelolaan semakin tinggi. Menurut dia, rakyat berhak mendapatkan perluasan wilayah kelola kawasan hutan.
Dengan luasnya lahan yang dimanfaatkan swasta, pemangku kebijakan sering kali bermain di perizinan. Menurut kajian KPK, potensi korupsi dalam perizinan disebabkan oleh tidak jelasnya status hukum kawasan hutan.
Sebagai contoh, pada 2014 sekitar 1,3 juta hektare lahan mendapatkan izin tambang padahal terletak di kawasan hutan konservasi. Ada pula kawasan hutan lindung seluas 4,9 hektare yang digunakan untuk penambangan. Menurut Martua, negara berpotensi kehilangan penerimaan Negara sebesar Rp 15,9 triliun akibat hal tersebut.
Martua mengatakan cara mengatasi masalah di atas adalah dengan transparansi. "Buka data-data kawasan hutan," katanya. Dari situ seluruh masyarakat dapat mengetahui peruntukan kawasan hutan serta batasnya. Kawasan yang perijinannya tumpang tindih pun dapat diketahui. Dengan segala kewenangan yang KPK miliki saat ini, ia berharap potensi korupi di sektor hutan dapat dikurangi. Ia mengatakan tidak merevisi Undang-Undang KPK merupakan salah satu cara membantu menyelamatkan sektor hutan.
VINDRY FLORENTIN