TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Pertanian Suswono mengaku kaget mendengar bekas anak buahnya di Kementerian Pertanian kini dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka itu adalah Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim dan pejabat pembuat komitmen Satuan Kerja Kementerian Pertanian, Eko Mardiyanto.
Keduanya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan fasilitas sarana budi daya pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau pupuk hayati di Kementerian Pertanian pada 2013. Menurut Suswono, kuasa anggaran pengadaan pupuk hayati itu sepenuhnya di bawah naungan Hasanuddin Ibrahim. "Itu merupakan tanggung jawab dia," kata Suswono saat dihubungi Tempo, Rabu, 10 Februari 2016.
Suswono menjelaskan, kasus di atas sudah lama terjadi dan telah terendus Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Temuan BPK saat itu, kata Suswono, mencurigai adanya perbedaan kandungan spora dalam pupuk hayati.
Ketika lengser dari jabatan menteri, kata Suswono, rekomendasi dari BPK tidak dijalankan. "Kasus ini sebenarnya tidak sampai ke ranah hukum jika temuan BPK waktu itu segera ditindaklanjuti," katanya.
"Prosedur boleh jadi sudah benar, tapi jika memang terjadi mark up layak diproses hukum. Saya sudah mengingatkan dalam rapat, pengadaan penunjukan langsung atau tender harus tak ada kerugian negara."
Selain dua pejabat dari Kementerian Pertanian, KPK juga menetapkan tersangka Eko Mardiyanto, pengusaha. “Ketiga tersangka diduga telah memperkaya diri yang menyebabkan kerugian negara,” kata pelaksana harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriati Iskak.
Yuyuk mengatakan kasus ini bermula dari aduan masyarakat petani sepanjang 2005-2012. Proyek ini bertujuan memberikan pupuk hayati mikro kepada masyarakat sebanyak 225 ton untuk 14 kabupaten/kota. Nilai proyek sebesar Rp 18 miliar, dan dugaan kerugian negara lebih dari Rp 10 miliar.
Dugaan adanya korupsi terendus dari tidak terpenuhinya standar pupuk hayati sebagaimana diamanahkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7 Tahun 2011. Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa kandungan zat spora di bawah standar mutu yang hanya 0,1-0,3 spora per gram.
Idealnya kandungan dalam pupuk hayati itu harus minimal 10 spora per gram. Namun, ketika diberikan kepada petani, kadar yang terkandung dalam pupuk tidak memenuhi standar. “Dalam proses, ada penggelembungan harga yang tidak sesuai dengan spesifikasi pengadaan pupuk hayati itu,” kata Yuyuk.
REZA ADITYA