TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki urgensi. Selain itu, berdasarkan pantauan ICW melalui survei dan petisi online, sebagian besar masyarakat Indonesia menolak revisi tersebut.
BACA: 57 Ribu Warga Indonesia Tolak RUU KPK
"Atas dasar penolakan publik dan semangat pemberantasan korupsi, maka Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak berbagai pihak,” ujar aktivis ICW, Donal Fariz, di gedung DPR pada Selasa, 9 Februari 2016.
ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak seluruh fraksi di DPR menarik dukungan revisi UU KPK dan membatalkan rencana pembahasan revisi tersebut. “Badan legislasi harap mempertimbangkan dampak revisi UU KPK terhadap pemberantasan korupsi," kata Donal.
Mereka juga mendesak pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, untuk menolak membahas Revisi UU KPK bersama dengan DPR dan menariknya dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Mereka berpendapat, langkah penolakan revisi UU KPK ini sesuai dengan Agenda Nawa Cita Jokowi-JK, yaitu memperkuat KPK.
BACA: Revisi UU KPK, Bambang Khawatir KPK Tak Lagi Independen
ICW dan Koalisi Masyarakat juga meminta pimpinan KPK mengirimkan surat resmi yang menyatakan keberatan dan menolak rencana pembahasan revisi undang-undang itu dengan substansi yang melemahkan kerja lembaga antirasuah. Selain itu, mereka mendorong gerakan masyarakat sipil lain dan berbagai elemen yang menginginkan Indonesia bersih dari korupsi untuk bersatu menggagalkan revisi tersebut.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pemerintah akan tetap mengacu pada empat poin yang diusulkan dalam revisi UU KPK. Sebelumnya, fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan draf baru revisi UU KPK."Pemerintah menjadikan (empat poin) itu acuan," kata Pramono di Kompleks Istana, Selasa, 2 Februari 2016.
Revisi UU KPK, Menteri Yasonna Tunggu Draf Final DPR
Poin utama yang diubah terkait dengan penyadapan yang diatur dalam Pasal 12A sampai dengan Pasal 12F; Dewan Pengawas, yang diatur dalam Pasal 37A sampai dengan 37F; penyelidik dan penyidik, yang diatur dalam Pasal 43, Pasal 43A, Pasal 43B, Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45B; serta wewenang KPK untuk mengajukan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Sebelumnya, pemerintah mengajukan empat poin usulan. Pertama mengenai penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Usulan kedua mengenai adanya pengawas bagi KPK. Ketiga, terkait dengan penyadapan, dan keempat mengenai penyidik independen.
BAGUS PRASETIYO