TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengakui masih ada 68 berkas ganti rugi warga di area terdampak yang belum dibayarkan kompensasinya. Andi beralasan perusahannya sengaja belum membayarkan ganti rugi tersebut karena berkasnya masih sengketa.
"Ada 68 berkas warga itu masih sengketa dan saling klaim soal fungsi lahannya. Ini kan masalahnya bukan ganti rugi, tapi jual beli lahan warga sesuai fungsinya kepada perusahaan kami," kata Andi saat dihubungi, Kamis, 7 Januari 2015.
Andi mengatakan seluruh berkas tersebut masih tertahan proses pelunasannya lantaran warga ngotot dan menuntut ganti rugi dengan harga yang tinggi. Padahal, kata dia, tanah fungsi yang ada dalam 68 berkas milik warga tersebut sebagian merupakan lahan sawah yang harga jual atau nilainya sangat rendah.
"Mereka tetap ngotot ingin harga tinggi dan mengklaim tanah itu merupakan lahan hunian. Sedangkan mereka tidak bisa membuktikannya secara hukum. Jika seperti itu, penyelesaiannnya adalah melalui pengadilan,” katanya.
Andi mengatakan, nominal kerugian untuk tanah basah dihargai Rp 120 ribu per meter persegi. Sedangkan untuk tanah kering Rp 1 juta dan bangunan dihargai Rp 1,5 juta. Sebanyak 68 berkas itu, kata dia, kebanyakan berada di lahan basah. "Mereka mengklaim bahwa ada di lahan kering dan bangunan malahan," ujar Andi.
Menurut Andi, hal itu mengakibatkan sisa berkas belum bisa diserahkan kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk dilakukan validasi dan penandatanganan berkas nominatif sebagai syarat pencairan dana talangan dari pemerintah untuk ganti rugi korban lumpur Lapindo.
PT Minarak Lapindo Jaya merupakan juru bayar perusahaan minyak dan gas Lapindo Brantas, Inc. Lapindo Brantas yang sebagian besar sahamnya dimiliki Bakrie Grup berencana kembali melakukan pengeboran di Sumur Tanggulangin 1, Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur. Sumur Tanggulangin 1 berada tak jauh dari pusat semburan lumpur panas Lapindo di Porong.
REZA ADITYA