TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis menggelar acara diskusi untuk mengkritisi Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. "UU tersebut dibuat dengan tergesa-gesa," kata Jerry Sumampouw yang merupakan Koordinator Komite Pemilih Indonesia, di restoran Handayani Prima, Jakarta, Sabtu 26 Desember 2015.
Selain Jerry, turut hadir dalam diskusi tersebut sebagai pembicara adalah pengamat politik Salamuddin Daeng, politikus Marwah Daud Ibrahim, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi. Diskusi dipandu oleh Ratna Sarumpaet seorang aktivis juga tokoh teater.
Menurut para tokoh yang hadir, Undang-Undang nomor 8 tahun 2015, terutama pasal 158, memiliki implikasi serius terhadap hasil-hasil Pilkada serentak karena akhirnya banyak pasangan calon tidak bisa mengajukan gugatan karena adanya peraturan dalam pasal itu.
Bahkan Marwah Daud Ibrahim mengatakan bahwa undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang cacat karena lahir dalam kondisi yang penuh keterbatasan. "Bahwa banyak yang dibahas, tetapi waktu singkat waktu itu," ujarnya.
Diskusi ini pada intinya menentang ketentuan dalam pasal 158 baik yang ada di dalam ayat 1 dan 2, yang mengisyaratkan bahwa dalam mangajukan permohonan pembatalan hasil penghitungan suara harus memenuhi unsur selisih 2 persen suara dari total perolehan suara.
Bagi para pembicara peraturan ini membuat para pasangan calon sulit untuk melakukan gugatan Pilkada serentak itu. Hadir pula dalam diskusi tersebut para calon kepala daerah yang ingin melakukan gugatan seperti Ramadhan Pohan yang merupakan calon Wali Kota Medan.
Pasal 158 dalam UU nomor 8 tahun 2015 dalam ayat 1 mengatur tentang ketentuan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur untuk mengajukan permohonan pembatalan hasil penghitungan suara. Sedangkan pada ayat 2 mengatur ketentuan bagi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
DIKO OKTARA