TEMPO.CO, Jakarta - TNI Angkatan Udara pada Senin kemarin mengumumkan rencana pembelian helikopter AW-101 sebagai pengganti Super Puma yang telah berumur 25 tahun. Satu unit AW-101 akan tiba di Tanah Air pada 2016, menyusul dua unit lainnya pada 2017. Sejumlah kalangan sebelumnya mengkritik pengadaan ini. Sebab, bukan saja tak melibatkan industri dalam negeri, tapi harga helikopter ini dinilai lebih mahal dibanding buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI).
Salah satu kritik datang dari Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso. Menurut Budi, pembelian itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Industri Pertahanan yang mewajibkan keterlibatan industri nasional dalam pengadaan alat pertahanan dan keamanan dari luar negeri. "Saya tidak berkeberatan demi keselamatan Presiden. Silakan. Tapi apakah tidak bisa menyertakan industri dalam negeri?" kata Budi kepada Tempo, Selasa, 24 November 2015.
Budi memaparkan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tersebut telah dilengkapi aturan pelaksanaan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang mekanisme imbal dagang dalam pengadaan peralatan pertahanan dan keamanan dari luar negeri. Beleid itu mewajibkan adanya kandungan lokal sedikitnya 35 persen dari nilai kontrak. "Sedangkan dalam pengadaan kali ini kami tidak diikutsertakan," ujarnya.
Helikopter AW-101 dibuat oleh AgustaWestland, produsen helikopter Inggris yang bermarkas di Italia. Sedangkan PTDI berpengalaman memproduksi helikopter sejenis, seperti EC 725 Cougar yang merupakan generasi terbaru Super Puma versi militer. Bahkan, sebelumnya, TNI Angkatan Udara juga memesan enam unit produk tersebut yang dibuat atas kerja sama PTDI dan Airbus Helicopters. "Kami punya kemampuan membuatnya," tuturnya.
Budi mengakui perlu waktu dua tahun untuk mengirim produk helikopter VVIP jika TNI memesannya ke PTDI. Namun dia menduga satu unit AW-101 yang akan diterima TNI AU pada tahun depan ialah pesanan India. "Itu pasti ready stock," ucapnya.
Pada awal tahun lalu, Kementerian Pertahanan India mengumumkan telah membatalkan pembelian 12 unit AW-101. Pembatalan dipicu hasil investigasi Italia yang menemukan Finmeccanica, perusahaan induk AgustaWestland, membayar petinggi Kementerian Pertahanan dan bekas Kepala Angkatan Udara India untuk memuluskan kontrak.
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Suprayatna mengklaim pengadaan AW-101 telah melalui kajian mendalam. Dia berdalih AW-101 memiliki keunggulan dari sisi keamanan karena dilengkapi tiga mesin. Selain itu, kabin AW-101 lebih tinggi, sehingga cocok untuk menghormati tamu negara. "Tidak pakai jongkok-jongkok," ujarnya di Halim Perdanakusuma kemarin.
Agus berdalih tak tahu-menahu soal tender lantaran menjadi domain Kementerian Pertahanan. Yang jelas, menurut dia, pembelian helikopter seharga US$ 55 juta per unit itu akan disokong pagu anggaran tahun jamak 2016-2019 senilai total US$ 440 juta, yang berasal dari penerusan pinjaman luar negeri.
Adapun soal klaim PTDI mampu memasok helikopter sejenis, Agus enggan berkomentar banyak. "Saya ini Komisaris Utama PTDI, kira-kira saya tahu enggak dalamnya PTDI?" katanya.
TITO SIANIPAR | RAYMUNDUS