TEMPO.CO, Jember - Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan satu juta lebih buruh migran asal Indonesia menderita di negara tempatnya bekerja. "Dari total buruh migran sebanyak 6,5 juta, catatan akhir tahun 2014 menunjukkan 1,503 juta mengalami pelanggaran hak asasi manusia," kata Anis dalam pembukaan Jambore Buruh Migran Indonesia di Gedung Soetardjo, Universitas Jember, Senin, 23 November 2015.
Beragam pelanggaran hak asasi manusia mereka alami, dari tidak digaji, terancam hukuman mati, diperkosa, dianiaya, hingga mengalami kasus perdagangan manusia. Selain itu, pada 2014, saat ada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, kata Anis, banyak buruh migran yang dilanggar hak politiknya. "Hak politik tidak terpenuhi selama pemilu berlangsung."
Indeks perbudakan modern juga menunjukkan peningkatan 300 persen pada 2014 dibandingkan sebelumnya. Sebelumnya, 104 ribu orang diperbudak di luar negeri, kini menjadi 710 ribu orang atau meningkat 300 persen.
Perbudakan itu terjadi pada berbagai sektor serta di berbagai negara. Bentuknya adalah bekerja secara tidak layak, seperti pembantu rumah tangga yang bekerja sampai 18 jam sehari sehingga tidak punya waktu istirahat dan ibadah. “Selain itu, digaji tidak sesuai dengan kontraknya," ucap Anis.
Kasus pelanggaran hak ini paling banyak terjadi di Arab Saudi dan Malaysia. Di Arab Saudi ada 1,5 juta buruh migran dan di Malaysia ada 2,4 juta buruh migran. "Kalau di Arab khusus di rumah tangga, tapi kalau di Malaysia ada PRT, perkebunan, konstruksi, pabrik, servis, dan jasa," katanya.
Jambore Nasional Buruh Migran ini digagas untuk menyusun road map atau peta jalan perlindungan buruh migran yang berbasis pada masalah, kajian, serta kebijakan. "Selama ini Indonesia belum punya peta jalan perlindungan buruh migran," tutur Anis.
Yang dilakukan pemerintah adalah reaktif terhadap masalah yang muncul, seperti pendekatan pembentukan ad hoc. "Kalau ada masalah seperti hukuman mati, misalnya, kemudian ada moratorium atau membentuk tim," ujar Anis. Ketika ada masalah TKI yang dideportasi, kemudian membentuk tim deportasi.
"Tetapi bagaimana redesign perlindungan buruh migran dalam bentuk road map? Sampai hari ini belum ada," tuturnya. Jambore ini diagendakan menggarap road map dengan tiang-tiang dari fondasi diskusi dan diskusi tematik.
DAVID PRIYASIDHARTA